Minggu, 03 Januari 2010

EVALUASI ADANYA STATEMENT DAN KOMITMENT POLITIK DARI PEMERINTAH TERHADAP PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Marhaini/20093602004

Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Lingkungan

Perbaikan Tugas I

ABSTRAK

Indonesia sangatlah kaya akan berbagai sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Sumber daya alam yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia tersebut disadarin suatu ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan.

Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan indutrialisasi maka tekanan terhadap sumber daya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumber daya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kenyataan betapa pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam lainnya dari tahun ke tahun bukannya menurun, akan tetapi semakin besar. Dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis sementara suksesi sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yang telah diekspoloitasi membutuhkan wakatu lama untuk dapat diperbaharui kembali.

Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena itu kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan hukum konservasi pun pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hukum untuk tercapainya dalam pengelolaan sumber daya alam.

Keberhasilan pemerintah dalam mencapai statement dan komitmet dalam pengelolaan lingkungan akan sangat tergantung kepada berbagai pihak baik termasuk masyarakat dan apatur di tingkat pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota untuk secara bersama-sama memahami hakekat otonomi daerah yang sebenarnya di bidang konservasi alam serta penyelenggaraannya otonomi daerah yang terkait dengan kepentingan pengelolaan kawasan konservasi hendaknya dilakukan berdasarkan kesepakatan semua pihak.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia termasuk sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Anugerah tersebut diantaranya terdiri dari kekayaan hutan produksi yang mencapai 71,8 juta ha, potensi perikanan laut sebesar 6,7 juta ton pertahun dan tembaga sebesar 40,3 miliar pounds (Econit Advisory Group). Demikian juga dengan berbagai potensi tambang lainnya seperti emas, minyak dan gas bumi serta berbagai sumber-sumber daya alam yang jumlahnya cukup besar di Indonesia.

Disamping itu Indonesia juga di kenal sebagai pemilik spesies terbesar di dunia, yaitu 17 % dari seluruh spesies yang terdapat di muka bumi kendatipun luas wilayahnya hanya 1,3 % dari wilayah dunia. Diperkirakan Indonesia memiliki 11 % dari spesies tumbuhan berbunga yang sudah di ketahui, 12 % binatang menyusui, 15 % amfibi dan reptilian, 17 % jenis burung dan sekitar 37 % jenis-jenis ikan yang ada di dunia. (UNESCO, 1992). Kekayaan tersebut suatu ketika tentu saja akan punah atau habis, jika pengolahannya tidak dilakukan secara bijaksana dan berkelanjutan. Pengolahan yang berkelanjutan diantaranya adalah melalui statement dan komitmen pemerintah melalui pengembangan kebijakan konservasi.

Luas wilayah Indonesia sekitar 191 juta ha diantaranya adalah daratan, 317 ha lautan dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sekitar 473 ha. Dari seluruh kawasan daratan, terdapat 303 kawasan konservasi yang luasnya sekitar 16,2 juta ha. (DFIS, 1990). Sementara untuk kawasan laut, luasnya tercatat sekitar 3,2 juta ha yang terdiri dari 31 unit kawasan konservasi. ( Statistik Kehutanan Indonesia, 1996/1997).

Pengembangan kawasan konservasi ditujukan untuk mengusahakan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Oleh karena itu keberadaan fungsi-fungsi keanekaragaman hayati tersebut sangatlah penting. Kawasan ekosistem Leuser dan Taman nasional Kutai misalnya di yakini sebagai paru-paru dunia yang memberikan kontribusi sangat besar dalam produksi oksigen. Bahkan pentingnya perlindungan kawasan konservasi sebagi Situs Warisan Dunia ( World Heritage Site ), dimana Indonesia telah memiliki 3 kawasan Taman Nasional dengan status Situs Warisan Dunia ( Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Komodo dan Taman Naional Lorentz).

Namun kawasan-kawasan konservasi tersebut saat ini tengah berada dalam ancaman kerusakan, penurunan mutu dan upaya-upaya eksploitasi. Ancaman terhadap kawasan-kawasan koservasi, disamping muncul dari sebab-sebab alam, juga diakibatkan aktivitas manusia. Kerusakan atau punahnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh beberapa penyebab (Mc. Neely et, Al, 1990, Soule, 1991), yaitu perusakkan langsung populasi spesies secara berlebihan dan pengenalan spesies eksotik. Disamping itu tekanan-tekanan yang muncul, baik secara langsung ataupun tidak langsung atas aktivitas manusia dapat menyebabkan musnahnya keragaman hayati.

Di Indonesia, kerusakkan berbagai keanekaragaman hayati antara lain muncul akibat aktivitas perusahaan-perusahaan tambang, pengusaha perkebunan maupun pengusaha HPH yang berusaha menerobos kawasan-kawasan konservasi yang diduga memiliki sumber daya alam hutan ataupun tambang yang terdapat didalam kawasan konservasi yang ada. Kendatipun untuk kawasan seperti cagar alam dan taman nasional sudah dilarang adanya kegiatan eksploitasi, akan tetapi upaya-upaya untuk melakukan eksploitasi tidak pernah berkurang.

Di samping itu, penyererobotan kawasan konservasi seringkali juga dilakukan oleh pengusaha yang wilayah konsesinya berbatasan atau berdekatan dengan kawasan konservasi dengan coba merambah hingga kawasan hutan lindung. Demikian pula pembukaan lahan atau pembersihan lahan dengan membakar yang dilakukan secara tidak hati-hati telah menyebabkan sejumlah kawasan lindung turut terbakar dan musnah di makan api. Kebakaran yang terjadi tahun 1983 di Kalimantan Timur telah memusnahkan hutan lindung seluas 304.000 hektar, cagar alam dan suaka margasatwa 192.000 hektar. Kebakaran hutan kemudian seolah mejadi bencana tahunan yang selalu menimbulkan banyak kerugian (Haerumann, 1997) termasuk terganggunya jadwal penerbangan, tabrakan kapal di laut dan masalah asap yang melanda negara-negara tetangga.

Namun demikian tidak sedikit pula pihak-pihak yang didukung oleh peralatan yang canggih secara illegal berani melakukan eskploitasi kayu di hutan lindung ataupun penangkapan ikan dan melakukan aktivitas lainya di wilayah-wilayah perairan konservasi yang ternyata merusak berbagai terumbu karang.

Ancaman lain yang tidak kalah besar dampaknya terhadap keberadaan kawasan konservasi muncul dari masyarakat sekitar hutan. Ancaman tersebut berupa pengambilan kayu, pembukaan lahan ataupun perburuan liar. Apabila upaya para pengusaha besar untuk melakukan eksploitasi kawasan-kawasan konservasi ataupun aktivitas pembukaan lahan secara tidak bertanggung jawab di latar belakangi oleh keinginan mendapatkan keuntungan secara mudah, maka upaya masyarakat sekitar hutan lebih didasarkan oleh motivasi pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Melihat berbagai kebijakan yang ada, konsepsi perlindungan dan pelestarian merupakan kebijakan yang inheren dan telah ada dalam pengelolahan sumber daya alam , termasuk kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati, yang sebenarnya telah ada bahkan sejak zaman pemerintahan colonial Belanda. Terdapat beberapa aturan seperti Undang-undang Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura (Reglement op het beheer en de exploitatie der houtbossem op Java en Madoera) pada tahun 1865, Reglement 1874, 1897, 1913 dan ordonantie hutan 1927.

Pemerintahan Orde baru mengembangkan kebijakan perlindungan sumber daya alam (hutan) secara umum di dalam UUPK, khususnya tentang perlindungan hutan yang juga, mengatur perburuan satwa liar. Ketentuan perlindungan pada tahun 1985. Kebijakan tersebut kemudian di susul dengan kebijakan lainnya seperti UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengolahan Lingkungan Hidup. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengolahan Kawasan Daya Alam Hayati dan Ekositemnya (UU KSDH). Undang-undang KSDH merupakan Undang-undang turunan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982.

Berbagai statement dan komitment Direktorat Jenderal Pelestarian Alam dan Perlindungan Hutan (Ditjen PHPA) sehubungan dengan kegiatan konservasi, yang secara umum menyangkut perencanaan , pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan dan evaluasi. Pengolahan termasuk didalamnya pemantauan kawasan, perlindungan dan pengamanan kawasan, kegiatan penelitian dan pendidikan, pengolahan wisata alam hingga pengembangan integrasi dan koordinasi. Namun demikian berbagai kebijakan, produk hukum, kelembagaan maupun program-program yang ada ternyata tidak menunjukan atau memberikan hasil yang signifikan berupa terlindunginya berbagai kawasan konservasi beserta berbagai keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Apalagi harapan untuk meningkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas, berbagai spesies yang ada.

Statement dan komitment pemerintah untuk mengatasi berbagai tindakan perusakan atau eksploitasi di kawasan-kawasan konservasi adalah dengan di rubah menjadi pengolahan yang menempatkan daerah sebagai pelaku utama (desentralisasi). Dikarenakan tampaknya pemerintah kesulitan untuk melaksanakan statement dan komitment konservasi yang disebabkan oleh :

1. Luasnya cakupan kawasan konservasi, dari Leuser di Aceh bagian barat Indonesia hingga Lorentz di wilayah bagian timur Indonesia.

2. Minimnya dana konservasi

3. Terbatasnya sumber daya manusia yang tersedia, baik dari sudut kuantitas maupun kualitas.

4. Kuatnya ego departemen sektoral (seperti Departemen Pertambangan atau Departemen Pertanian) untuk melakukan eksploitasi di kawasan konservasi yang memunculkan konflik inter departemen, disamping intra departemen kehutanan sendiri

5. Lemahnya penegakan hukum.

Hal yang mendorong desentralisasi misalnya, dapat dilihat dari beberapa kenyataan :

1. Pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan daerahnya, sehingga mereka dapat merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya secara lebih baik dari pemerintah pusat.

2. Jika ada masalah akan cepat diatasi karena Pemerintah Daerah akan lebih cepat dan mudah mengetahui.

3. Jumlah masalah yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah jauh lebih sedikit karena hanya menyangkut masalah mereka sendiri.

Akibat minimnya perhatian pemerintah daerah dan masyarakat terhadap kualitas kawasan konservasi, dikhawatirkan akan menimbulkan akibat yang lebih fatal pada keberadaan dan fungsi dari kawasan dan berbagai keanekaragaman hayati yang terdapat ke dalamnya.

1.2. Permasalahan

1. Indonesia sangatlah kaya akan berbagai sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Sumber daya alam yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia tersebut disadari suatu ketika akan habis dan punah jika pengolahannya dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan

2. Melihat tingkat kerusakan yang terjadi dan aktivitas-aktivitas yang sangat potensial menjadi ancaman terhadap kawasan konservasi, serta persoalan-soalan yang memunculkan sejauhmana kebijakan dan institusi yang mendukung kearah pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan.

1.3. Tujuan dan Manfaat

1. Untuk menghasilkan suatu analisis terhadap kebijakan dan hukum sebagai statement dan komitment dari pemerintah dalam pengembangan pengelolaan sumber daya alam khususnya pengelolaan kawasan konservasi yang bertumpu pada daerah dan peran masyarakat.

2. Kajian terhadap substansi dan efektifitas dari berbagai kebijakan dan hukum khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi.

3. Memberikan dasar-dasar hukum dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi melalui pengintegrasian aspek desentralisasai dan peran masyarakat sehingga keberadaan, keutuhan serta kekayaan dan keanekaragaman hayati dapat mendukung statement dan komitment pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena itu kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan hukum konservasi pun dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hukum pengelolaan sumber daya alam.

Sebenarnya diketahui bahwa sebenarnya peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Namun dalam hal ini kebijakan diartikan dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang masih harus dijabarkan terlebih dahulu didalam berbagai peraturan perundangan-undangan. Kebijakan yang dimaksud disini diantaranya adalah UUD 1945, Ketetapan MPR dan garis-garis besar haluan Negara (GBHN), ataupun pernyataan pejabat Negara.

Undang-undang Dasar 1945 lebih menekankan pada pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat. Perhatian terhadap upaya “perlindungan” belum dikandung baik secara eksplisit maupun implisit. UUD 1945 menyebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sementara itu melalui Tap MPR kemudian ditetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisikan konsepsi dan arah pembangunan, GBHN kemudian dijabarkan oleh Pemerintah dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun atau REPELITA.

Ketetapan-ketetapan MPR tentang GBHN selama beberapa periode telah memberikan arah yang cukup jelas bagi pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pengembangan kebijakan konservasi. Apa yang terdapat di dalam GBHN terakhir (1988-2003) misalnya, menekankan bahwa pembangunan lingkungan hidup diarahkan agar lingkungan hidup dapat tetap berfungsi sebagai pendukung dan penyangga ekosistem kehidupan dan terwujudnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian yang dinamis antara system ekologi, sosial, ekonomi dan sosial budaya agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam bagian lain juga disebutkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (sustainable ecologically Development) ditujukan bagi penataan ruang, tata guna lahan, tata guna sumber daya air, laut dan pesisir serta sumber daya alam lainnya yang didukung oleh aspek sosial budaya lainnya sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang harmonis dan dinamis.GBHN tersebut juga memberikan perhatian terhadap peran serta masyarakat. Namun tidak disinggung kemungkinan dikembangkannya desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Kendatipun GBHN 1988-2003 tidak memiliki legitimasi hukum menyusul dibubarkannya Pemerintahan Suharto pada Bulan Mei 1998, yang dengan sendirinya GBHN tersebut juga tidak lagi berlaku, namun dari konsepsi yang dimiliki tampak bahwa perhatian terhadap lingkungan hidup sebagai pendukung dan penyangga eksositem kehidupan cukup besar. Secara nilai, upaya untuk mengembangkan pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan dan memperhatikan keserasian telah dikembangkan di dalam GBHN 1998-2003.

Namun kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan serta kebijakan pembangunan pemerintah selama ini menunjukkan bahwa konsepsi bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, belum mampu mensejahterakan masyarakat. Justru yang palingmenonjol adalah penerjemahan Hak Menguasai Negara (HMN) dimana sumber daya alam yang ada seakan dimiliki secara mutlak oleh Negara. Tanah-tanah dengan status tanah adat yang banyak dikenal di Indonesia sejak zaman Kolonial Belanda seakan

menjadi hapus apabila Negara menghendaki. Hal ini dapat dilihat di dalam UU Pokok Agraria (1960), UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan yang menyatakan bahwa Tanah adat dapat diakui sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, namun pengakuan tersebut hampir tidak pernah terjadi. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan penguasaan hutan. Sementara itu, di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan. Disinilah sebenarnya akar dari berbagai ancaman dan konflik di dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat Adat dihilangkan akses dan kemampuannya untuk menentukan pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di sekitar mereka.

Secara lebih nyata -- dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan konservasi, HMN diterjemahkan sebagai hak negara untuk mengambil tanah adat atau tanah milik masyarakat yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung. Hal ini misalnya terjadi di beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi seperti di Haruku, Maluku, dan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau. Bahkan di Haruku yang telah ditetapkan Pemerintah sebagai hutan lindung tapi muncul aktivitas pertambangan. Sampai saat ini masih menjadi konflik antara masyarakat di satu sisi dengan Pemerintah dan perusahaan di sisi lain.

Sidang Istimewa MPR (SI MPR) yang berlangsung pada bulan Nopember 1998 menghasilkan beberapa Ketetapan, yang diantaranya adalah tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional

yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam

Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di dalam Tap MPR No. XV/1998 tersebut disebutkan bahwa Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimana penyelenggaraan tersebut dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan

memperhatikan keanekaragaman daerah. Di dalam pasal 5, ditekankan bahwa Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan. Hal ini, tentunya termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Tap MPR No. XV/1998 tersebut menunjukkan suatu kesadaran mengenai Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Hendaknya departemen terkait tidak lagi menterjemahkan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kepentingan atau ego sektoral masing-masing. Dalam upaya mempercepat realisasi Otonomi Daerah tersebut sudah saatnya instansi terkait melakukan koordinasi untuk menyamakan visi dan persepsi.

2.2. Peraturan Perundang-undangan

Telaahan terhadap peraturan perundang-undangan, yang berjumlah cukup besar sekitar 157 peraturan baik peraturan yang secara langsung mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi maupun yang tidak secara langsung mengatur namun berkaitan menunjukkan adanya beberapa persoalan, yaitu , Pertama , tidak adanya istilah yang baku terhadap kawasan yang dilindungi. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, menggunakan istilah Kawasan Lindung. Sementara itu Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya (KSDHE) cenderung menggunakan istilah konservasi. Direktorat yang memiliki tanggungjawab perlindungan sumber daya alam misalnya menggunakan istilah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Ditjen PHPA), kendatipun

sehari-hari mereka menggunakan istilah konservasi dan bukan perlindungan atau pelestarian. Baru-baru ini, melalui Keppres No. 192 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen sebagaiman telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 144 Tahun 1998. Pemerintah menggunakan nama baru untuk Ditjen PHPA yaitu Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Perbedaan istilah ini tentu saja dapat memberikan konsekuensi hukum tertentu.

Adanya dualisme kebijakan pemerintah yang di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan-kawasan tertentu dan menetapkannya sebagai kawasan konservasi, namun di sisi lain membuka peluang kawasan-kawasan tersebut untuk dieksploitasi. Hal ini dapat ditemukan di dalam PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, di dalam Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan di dalam SKB Menteri Pertambangan dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/08/MPE/1989 dan Nomor 492/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi Dalam Kawasan Hutan, yang hingga kini masih berlaku. SKB dua Menteri tersebut bahkan menegaskan bahwa di Kawasan Cagar Alam dapat dilakukan kegiatan pertambangan, termasuk di dalam kawasan yang akan ditetapkan sebagai Taman Nasional. Jika sebelumnya telah ada kegiatan tambang, maka kawasan tambang tersebut dikeluarkan dari penetapan taman nasional. Padahal, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDHE secara tegas menyebutkan bahwa di dalam Cagar Alam dan Taman Nasional tidak dibolehkan adanya kegiatan budi daya, yaitu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan Cagar Alam maupun Taman Nasional. Semestinya rujukan utama aturan mengenai kawasan konservasi adalah UU KSDHE, karena berdasarkan hierarki UU merupakan aturan yang paling tinggi. Apabila terdapat peraturan yang saling bertentangan, maka yang dijadikan acuan dan berlaku.

Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku perusak kawasan-kawasan konservasi. Berbagai aktifitas yang nyata-nyata mengancam atau bahkan telah merusak kawasan konservasi seringkali tidak dikenakan peringatan ataupun sanksi yang tegas. Hal ini dapat dilihat dari aktifitas pertambangan di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur, Taman Nasional Lorentz (sebelumnya Cagar Alam), Taman Nasional Bunaken dan sebagainya.

Kuatnya egosektoral, yang terlihat dari rekomendasi dan ijin yang diberikan oleh Departemen Pertambangan untuk aktifitas pertambangan, baik di Taman Nasional Lorentz maupun Taman Nasional Kutai, kendatipun UU No. 5 Tahun 1990 melarang. Dengan adanya kebijakan yang mendua, penggunaan istilah yang tidak baku, lemahnya penegakan hukum dan begitu kuatnya egosektoral, maka jelas ada persoalan mendasar di dalam kebijakan besar pengelolaan sumber daya alam kita. Persoalan mendasar tersebut adalah tidak adanya visi dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk visi pengelolaan kawasan konservasi. Disinilah kelihatan adanya gap antara konsepsi yang bagus di dalam GBHN atau UU KSDHE, dengan tidak adanya impelementasi yang konkrit. Das sein tersebut ternyata tidak tampak di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan sebaliknya berbagai peraturan dibuat mendua atau justru mendukung upaya eksploitasi kawasan konservasi yang semestinya dijaga kelestariannya.

2.3. Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat di Dalam Pengelolaan

Kawasan Konservasi

Akar dari berbagai persoalan dan konflik di dalam pengelolaan sumber daya alam adalah ketidakadilan dalam alokasi sumber daya alam itu sendiri. Di sisi lain pengelolaan yang sentralistik telah mematikan potensi Pemerintah Daerah termasuk peluangnya untuk mengembangkan daerah sesuai kebutuhan dan keinginan sendiri, dan tidak adanya hak dasar masyarakat untuk mengelola sumber daya alam yang terdapat disekitar mereka.

Ketidakadilan dalam distribusi hasil-hasil sumber daya alam yang dilandasi oleh system politik yang represif dengan, menarik aset-aset lokal tersebut ke Pusat, telah memberikan hasil yang sangat tidak signifikan terhadap daerah. Berbagai propinsi yang kaya akan sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, Aceh, Riau, ataupun Irian Jaya justru merupakan daerah-daerah yang miskin dan pembangunan daerahnya paling tertinggal. Sehingga tidak mengherankan munculnya tuntutan akan perimbangan keuangan Pusat Daerah, otonomi penuh bahkan keinginan untuk berpisah dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, pengakuan dan hak-hak masyarakat adat terhadap sumber daya alam tidak lagi mereka peroleh dan semakin dipinggirkan oleh pemerintah, melalui berbagai paket peraturan perundang-undangan sumber daya alam. Secara institusi, masyarakat adat telah dihapuskan dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, yang menghapuskan sistem pemerintahan adat seperti Marga, Nagari ataupun bentuk-bentuk lain dan membuat unifikasi sistem pemerintahan Desa.

Kajian mengenai Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat di Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi tidak dapat dipisahkan dari peta politik pemerintahan Pusat-Daerah-Desa tersebut. Oleh karena pada dasarnya Kawasan Konservasi tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan sumber daya alam pada umumnya.

Sebagaimana halnya dengan pengelolaan sumber daya alam selain tambang Galian C seperti pasir, batu dan sebagainya, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi pada umumnya masih bersifat sentralistik. Dengan perkataan lain pengelolaan kawasan konservasi masih dilakukan dari pusat. Kendatipun terdapat aturan umum penyerahan urusan di bidang konservasi sumber daya alam tetapi peraturan pelaksananya belum dikembangkan.

Dari kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, pemerintah masih tampak setengah hati untuk mengembangkan desentralisasi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya misalnya, menyebutkan bahwa “ dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintah Daerah. Ketentuan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun delapan (8) tahun UU KSDHE berjalan Peraturan Pelaksana tersebut belum juga dibuat.

Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan tidak membuka peluang desentralisasi sama sekali. Bahkan untuk kebakaran hutan, pencegahan dan pemadamannya masih bertumpu pada instansi-instansi kehutanan yang merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Pusat seperti Kanwil Kehutanan, Dinas Kehutanan, Unit Perum Perhutani dan Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Kehutanan. Demikian juga halnya dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung di dalam daerahnya masing-masing, tapi tidak untuk pengelolaannya.

Pada Tahun 1998 Pemerintah meluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan kepada Daerah. Di dalam PP ini disebutkan bahwa Kepada Kepala Daerah Tingkat I diserahkan urusan Pemerintah yang meliputi Pengelolaan Taman Hutan Raya dan Penataan Batas Hutan. Sementara itu kepada Kepala Daerah Tingkat II diserahkan urusan Pemerintah yang meliputi penghijauan dan konservasi tanah dan air, persuteraan alam, perlebahan, pengelolaan hutan milik/hutan rakyat, pengelolaan hutan lindung, penyuluhan kehutanan, pengelolaan hasil hutan non-kayu, perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru, perlindungan hutan dan pelatihan ketrampilan masyarakat di bidang kehutanan.

Terdapat beberapa catatan yang dapat diberikan terhadap PP No. 62 Tahun 1998 tersebut yaitu, 1). PP tersebut adalah turunan atau aturan tindak lanjut dari UU kehutanan, dan bukan dari UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDHE, 2) PP tersebut juga memuat bidangbidang tertentu yang merupakan bagian dari pengelolaan kawasan konservasi untuk diserahkan kepada Pemerintah Daerah, namun tidak kawasan seperti Taman Nasional, Cagar Alam dan sebagainya, 3). Desentralisasi pengusahaan hutan yang banyak dituntut oleh banyak pihak, yang seharusnya dimuat di dalam PP ini, justru tidak tercantum.

Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin pemerintah pusat mampu mengelola kawasan konservasi yang demikian luas, yang mencakup 16,2 juta hektar kawasan konservasi darat, dan 3,2 juta hektar kawasan konservasi laut. Berbagai data empirik menunjukkan bahwa pengelolaan yang sentralistik tersebut mengalami banyak hambatan. Oleh karena itu pengelolaan kawasan-kawasan konservasi oleh Pemerintah Daerah yang cenderung lebih memahami wilayahnya, berada dekat dengan objek konservasi itu sendiri lebih memungkinkan untuk melakukan secara lebih baik. Namun demikian terdapat dua persyaratan penting apabila pengelolaan kawasan konservasi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah dapat berjalan dengan baik, yakni sekaligus dengan memberikan Daerah kewenangan untuk mengelola pengusahaan hutan, serta melibatkan masyarakat lokal atau adat dan memposisikan mereka secara kemitraan.

Di sisi lain, pengembangan Peran Serta Masyarakat di dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi juga belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Dari berbagai peraturan yang ada -- yang mencantumkan peran serta -- tampak bahwa pemerintah belum memahami apa esensi dari peran serta masyarakat itu sendiri. Berbagai pasal tentang peran serta seringkali menyebutkan peran serta dalam bentuk yang tidak langsung seperti : maka rakyat diikutsertakan, atau konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggungjawab dan kewajiban pemerintah dan masyarakat, atau, pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan (Ps. 37 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1990).

Berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat peran serta masyarakat, kecuali UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa peran serta masyarakat itu tidak penting. masyarakat bahkan dilihat sebagai bagian yang tidak mengerti tentang pengelolaan sumber daya alam termasuk konservasi, sehingga disebutkan bahwa peran serta tersebut akan ditumbuhkan dan ditingkatkan

melalui pendidikan dan penyuluhan. Padahal, tidak ada yang dapat membantah bahwa justru masyarakat Adat Dayak, masyarakat Adat Haruku, dan berbagai masyarakat adat lainnya di berbagai wilayah di Indonesia dikenal secara turun-temurun memiliki konsepsi konservasi yang luar biasa, dan menerapkannya.

Diakomodirnya peran serta masyarakat adalah suatu keniscayaan. Dengan luasnya

sebaran kawasan konservasi, terbatasnya institusi pengelola dan sumber daya manusia, serta dana yang minim, adalah tidak mungkin pengelolaan kawasan konservasi tanpa peran serta masyarakat dapat berjalan dengan baik.

Upaya meletakkan pola hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam bentuk kemitraan akan menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat ataupun kawasan konservasi itu sendiri. Bagi masyarakat adat atau lokal, keterlibatan dalam pengelolaan kawasan konservasi bukan dilihat semata-mata sebagai sebuah tugas, akan tetapi didorong oleh motivasi dan rasa memiliki, dimana mereka merasa adalah bagian dari hutan atau kawasan konservasi itu sendiri. Beberapa faktor yang mendukung efektifnya pengelolaan kawasan konservasi dengan dilibatkannya masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah, 1) kedekatan masyarakat dengan kawasan konservasi, 2) adanya faktor kepentingan, baik secara historis, sosial-religi, ekologi maupun ekonomi, dan 3). komitmen dan kepedulian (seperti yang ditunjukkan oleh LSM maupun kelompok pecinta lingkungan hidup).

Salah satu contoh peran penting keterlibatan masyarakat adalah dalam kasus kebakaran hutan 1997-1998 yang terakhir, dimana posko-posko didirikan yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan masyarakat umum. Sebaliknya, sebagaimana yang dilaporkan di dalam buku “Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia, Dampak Faktor dan Evaluasi, menunjukkan betapa pemerintah ternyata memiliki keterbatasan dalam menanggulangi bencana skala besar. Hal ini dibuktikan dengan lumpuhnya mekanisme kerja yang mengatur hubungan antara instansi dalam usaha penanggulangan dan pemadaman di tingkat Pusat maupun Daerah.

III. EVALUASI ADANYA STATEMENT DAN KOMITMENT PEMERINTAH PENGELOLAAN LINGKUNGAN

3.1. Kebijakan Pemerintah Pengelolaan Lingkungan

Pemerintah telah menyusun visi pembangunan berkelanjutan berdasarkan penjabaran pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Terlestarikannya lingkungan hidup Indonesia sesuai fungsinya merupakan satu prasyarat dan sekaligus sebagian dari tujuan yang dicita-citakan seperti tertuang pada Pembukaan UUD 1945. Mengacu Pembukaan UUD 1945, Visi pembangunan KLH adalah pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan generasi mendatang. Oleh karena itu lingkungan hidup perlu dilestarikan. Sumber daya alam yang terbaruhi perlu dilestarikan daya pulihnya, sedangkan sumber daya alam tak terbaruhi perlu dimanfaatkan searif mungkin dengan memperhatikan kebutuhan generasi mendatang. Berbagai program strategis yang dikembangkan oleh KLH meliputi :

3.1. 1. Program Utama

· Penyelenggaraan Tata Praja Lingkungan, yang mencakup pengembangan kapasitas KLH untuk mendukung pengelolaan lingkungan hidup di daerah, penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam pembangunan berkelanjutan (bangun praja ), dan penghargaan kepada pemerintah daerah dalam keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup di daerahnya (Adipura)

· Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan (warga madani) dan kerja sama dengan badan legislatif daerah dalam pembangunan berkelanjutan

· Pengembangan system penataan yang terdiri dari pengembangan system penataan alternatif sumber pencemar institusi

· Pengembangan system penataan yang terdiri dari pengembangan system penataan alternative pencemar non-institusi

· Pelestarian lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional, regional dan global.

3.1.2. Program Pendukung

· Pengembangan kelembagaan dan koordinasi pembangunan berkelanjutan yang terdiri dari pengembangan kebijakan, pengembangan system penataan dan pemantauan kebijaksaaan.

· Pengembangan system informasi termasuk pemantauan kualitas lingkungan hidup, komunikasi dan system pelaporan dalam pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari komunikasi, system informasi dan pelaporan

Sejak awal, pemerintah melalui KLH memiliki komitmen yang kuat berupaya memperhatikan aspek lingkungan pada setiap sisi kegiatan pembangunan. Berbagai upaya selama ini dilakukan dan banyak hal telah dicapai antara lain, diletakannya kerangka landasan yang kuat berupa perundang-undangan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup, konservasi maupun tata ruang. Lembaga pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun daerah telah di bentuk kerangka koseptual serta kebijakan umum pengelolaan lingkungan hidup.

3.2. Kebijakan yang dijalankan oleh KLH dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia

Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia yang harus diperhatikan adalah hubungan kelembagaan pemerintah pusat dengan daerah dan karakteristik pengelolaan lingkungan hidup yang multideminsi dan lintas wilayah. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menetapkan urusan penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup akan sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten-kota. Oleh karena itu mekanisme hubungan kerja antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bersifat sinergi dalam mengoptimalkan kinerja program pengelolaan lingkungan hidup yang berasal dari pusat dan program yang berasal atau disusun sendiri oleh pemerintah daerah kabupaten/kota termasuk kegiatan yang berasal dari inisiatif local yang merupakan potensi kreatif dan inisiatif masyarakat setempat.

Dengan di mulainya desentralisasi di segala bidang termasuk pengelolaan lingkungan, maka kelembagaan di pusat pun perlu disesuaikan. Karena itu KLH selain bertanggung jawab mengkoordinasi juga menjalankan tugas-tugas pelaksanaan yang pada masa lalu dipegang oleh Bapedal. Disamping itu KLH juga bertanggung jawab membantu aspek teknis institusi pengelola lingkungan hidup di daerah antara lain Bapedalda Propinsi, Bapedalda Kabupaten, dan Bapedalda Kota.

Untuk mengantipasi berbagai implikasi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di daerah perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mempertegas kembali komitmen memberdayakan lembaga lingkungan di

kabupaten/kota

2. Implikasi dari penguatan kelembagaan lingkungan di kabupaten/kota

adalah penguatan lembaga di tingkat propinsi, regional dan pusat dengan

perubahan peran dan tanggung jawab sesuai kewenangan yang diatur

dalam PP Nomor 25 tahun 2000.

3. Meningkatkan kinerja kelembagaan dengan meningkatkan sumberdaya

manusia.

3.3. Pendanaan

Anggaran pembangunan pada dasarnya merupakan cerminan kebijakan pemerintah dan sasaran pembangunan berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan. Anggaranpembangunan juga dapat memberikan gambaran lembaga pemerintah yang mana bertanggung jawab melaksanakan tugas dan fungsi tertentu maupun menggambarkan amanat/kebijakan yang telah ditetapkan. Pendanaan pengelolaan lingkungan hidup berasal dari sumber domestik dan luar negeri, hanya disayangkan anggaran yang disediakan untuk sumber daya alam dan lingkungan hidup hanya satu persen dari seluruh belanja pembangunan. Rasanya tidak adil jika melihat penerimaan Negara bukan pajak yang berasal dari sumber daya alam menempati 77 % dan sementara pengeluaran pembangunan untuk suksektor sumber daya alam dan lingkungan hidup sangat kecil (0,69%) dari penerimaan yang berasal dari sumber daya alam (KLH, 2002).

Perlu kiranya menambah anggaran untuk pelaksanaan pelestarian lingkungan hidup sehingga proporsional anggaran untuk tiga pilar pembangunan berkelanjutan (social, ekonomi dan lingkungan). Anggaran sector lingkungan hidup perlu di upayakan mencapai 3 – 4 % dari total pembanguan.

3.4. Peraturan dan perundang-undangan

KLH terus mengembangkan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup meskipun tetap saja banyak kasus pelanggaran perundang-undangan tersebut. Misalnya kasus konservasi kawasan lindung yang menjadi kawasan perumahan, kasus reklamasi pantai yang jelas-jelas akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan, ahli fungsi kawasan penyangga di Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) menjadi kawasan hunian dan adanya perbedaan pendapat tentang tidak dibolehkannya pertambangan terbuka di hutan lindung sesuai UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, merupakan beberapa contoh yang mengindikasikan adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan. Dari kenyataan itu jelaslah, ada sesuatu kecendrungan kuat aspek lingkungan belum diprioritaskan dalam pembangunan.

3.5 Partisipasi Masyarakat

Permasalahan lingkungan hidup merupakan masalah yang kompleks sehingga tidak dapat ditangani oleh pemerintah saja. Kompleksnya permasalahan menurut pemecahan yang multidimensi dan komprehensif, salah satunya adalah peran serta seluruh masyarakat. Namun dalam kenyataannya peran serta masyarakat masih menghadapi persoalan yang cukup rumit dan sensitive, sehingga keterlibatannya dalam lingkungan hidup mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tahap pemantauan masih relatif rendah. Oleh karena itu meningkatkan berbagai kegiatan seperti :

· Pemberian Penghargaan Kalpataru merupakan penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah melalui KLH sejak tahun 1980 hingga sekarang kepada masyarakat baik kelompok maupun perorangan atas dedikasinya dalam kegiatan kepeloporan atau sumbagsihnya bagi upaya-upaya pelsetarian fungsi lingkungan.

· Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan melalui program warga madani yang bertujuan agar masyarakat secara aktif menyuarakan hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat serta mampu berkehendak untuk menjalankan inisiatif local dalam menghadapi masalah lingkungan sekitarnya.

· Peningkatan Peran aktif masyarakat dalam pelaksanaan Amdal sesuai dengan pasal 33-35, PP Nomor 27 Tahun 1999 yang kemudian dijabarkan melalui keputusan Kepala Bapedal Nomor 8 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan keterbukaan Informasi dalam proses Amdal.

· Pengembangan system informasi dalam bentuk memaksimalkan situs KLH dan pembuatan situs untuk anak-anak Acil ( Aku Cinta Lingkungan).

· Pembukaan Kotak Pengaduan Masyarakat yang merupakan sarana bagi masyarakat untuk berpartipasi dalam pengeloaan lingkungan hidup.

IV. PENUTUP

1. Tercapainya Statement dan Komitment politik dari pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup akan sangat tergantung kepada berbagai pihak baik termasuk masyarakat dan apatur di tingkat pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota untuk bersama-sama memahami otonomi daerah yang sebenarnya di bidang lingkungan hidup dalam hal konservasi alam, serta dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang terkait kepentingan pengelolaan kawasan konservasi hendaknya dilakukan berdasarkan kesepakatan semua pihak. Untuk itu penyelenggaran kawasan konservasi harus dilakukan secara transparan, serta berkonsekuensi tidak hanya kepada pengaturan kewenangan (authority) namun mencakup pula pengaturan tanggung jawab (responsibility), Tanggung-gugat (accountability) dan resiko (risks) serta merupakan kepentingan bersama pemerintah pusat dan daerah (propinsi dan kabupaten/kota).

2. Melihat luasnya wilayah sebaran kawasan konservasi, terbatasnya sumber daya (manusia, dana dan fasilitas) serta beragamnya ancaman terhadap kawasan konservasi maka pemerintah memerlukan mitra untuk melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi. Dalam hal ini peran serta masyarakat adalah salah satu instrument penting yang harus disertakan. Peran serta masyarakat dapat melibatkan masyarakat adat, masyarakat local maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena mereka, pada dasarnya memiliki kepedulian (concern) yang tinggi untuk generasi masa yang akan datang. Disamping, masyarakat adat juga memilki ikatan dan kepentingan sosial, ekonomi, budaya dan bahkan religi (magis), terhadap sumber-sumber daya alam seperti hutan.

3. Melakukan upaya-upaya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang secara sengaja merusak kawasan konservasi, melalui praktek-praktek kolusi, korupsi dengan cara membuat kebijakan yang bertentangan dengan tujuan pengelolaan konservasi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

CGI dan Desantralisasi kehutanan, INFID International NGO Forum on Indonesian Development, File:///D:/tugas % 20supli%202.htm

Kebijakan Dalam dan Luar Negeri di Bidang Lingkungan Hidup, laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002

TB. Unu Nitibaskara, Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi, Prosiding, Seminar Nasional. Lingkungan Hidup Perkuat Komitmen

http://m3sultra.wordpress.com/2009/09/09/uu-lingkungan-hidup-perkuat-komitmen/

Sulaiman N Sembiring, Kajian Hukum & Kebijakan Pengolaaan Kawasan Konservasi di Indonesia, ICEL http// orientasi lingkungan multiply.com pround /item/31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar