Minggu, 03 Januari 2010

PENCEMARAN LINGKUNGAN DARI INDUSTRI PENGOLAHAN BUAH KELAPA SAWIT

Marhaini/20093602004

Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Lingkungan

Perbaikan Tugas II

ABSTRAK

Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami mengingkatan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan tingginya permintaan atas Crude Palm Oil (CPO) sebagai sumber minyak nabati dan penyediaan untuk biofuel. Namun industri pengolahan kelapa sawit merupakan industri yang yang sarat dengan residu hasil pengolahan. Jika tidak dilakukan pengolahan secara secara baik dan profesional, maka limbah industri merupakan sebuah potensi bencana bagi manusia maupun lingkungan. Konsep pengelolaan limbah sawit dilakukan dengan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu, dan diterapkan secara terus menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu hingga hilir yang terkait dengan proses produksi, produk, dan jasa untuk meningkatkan efesiensi pemakaian sumberdaya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya. Limbah indsutri kelapa sawit terdiri dari limbah cair, padat, dan gas. Limbah cair dimanfaatkan untuk produksi biogas, pakan ternak, bahan pembuat sabun, serta pembuatan biodiesel, dan air sisanya dapat digunakan untuk pengairan bila telah memenuhi standar baku mutu lingkungan. Sementara limbah padat dapat dimanfaatkan untuk produksi kompos, bahan pulp untuk pembuatan kertas, pembuatan sabun dan media budidaya jamur, sumber energi, pembuatan berikat arang aktif, bahan campuran pembuatan keramik, serta pakan ternak ruminansia.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam beberapa tahun terakhir bisnis dan investasi pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah terjadi Booming. Permintaan atas minyak nabati dan penyediaan untuk biofuel telah mendorong peningkatan permintaan minyak nabati yang bersumber dari Crude palm Oil (CPO). Hal ini disebabkan tanaman kelapa sawit memiliki sekitar 7 ton/hektar. Indonesia memiliki potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sangat besar karena memiliki cadangan lahan yang cukup luas, ketersediaan tenaga kerja dan kesesuaian agroklimat.

Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia 2007 sekitar 6,8 juta hektar (Ditjen Perkebunan, 2008 dalam Hariyadi, 2009) yang terdiri dari sekitar 60 % diusahakan oleh perkebunan besar dan sisanya sekitar 40 % diusahakan oleh perkebunan rakyat (Soetrisno, 2008). Luas perkebunan kelapa sawit diprediksi akan meningkat menjadi 10 juta hektar pada 5 tahun mendatang. Mengingat pengembangan kelapa sawit tidak hanya dikembangkan diwilayah Indonesia bagian barat saja, tetapi telah menjangkau wilayah Indonesia bagian timur.

Perkembangan luas kebun kelapa sawit di Indonesia dewasa, ini cukup pesat, seiring dengan tingginya, permintaan dunia, akan minyak (CPO). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2006) menunjukan bahwa, Indonesia menghasilkan minyak sawit (CPO) 18,8 juta ton. Dari angka tersebut perkiraan limbah pabrik sawit yang dihasilkan dalam setahun berupa, tandan kosong 540 juta ton, serat perasan buah 11,2 juta ton, Lumpur sawit atau solid decanter 7,6 juta ton (2juta ton bahan kering), solid membran 40 juta ton (4 juta ton bahan kering), bungidi inti sawit 8,6 juta ton dan cangkang 7,6 juta ton. Jumlah ini akan terus meningkat dengan bertambahnya jumlah produksi minyak sawit.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak negative. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa Negara, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri. Selain dampak positif ternyata juga memberikan nampak negative. Secara ekologis system monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plasma nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan.

Peningkatan luas kebun kelapa sawit yang diiringi dengan peningkatan jumlah produksi, mengakibatkan bertambahnya

jumlah atau kapasitas industri pengelolaan minyak sawit. Hal ini juga akan menimbulkan masalah, karena jumlah limbah yang dihasilkan akan bertambah pula, yang apabila tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik akan pencemaran lingkungan.

Limbah industri kelapa sawit terdiri dari limbah cair, padat dan gas. Sementara limbah industri kelapa sawit mengakibatkan dampak ekologi berupa mencemari lingkungan karena akan mengurangi biota dan mikroorganisme perairan dan dapat menyebabkan keracunan, produksi melepaskan gas metan (CH4) dan CO2 yang menaikan emisi penyebab efek rumah kaca yang sangat berbahaya dan limbah gasnya meningkat nya kadar CO2 dan mengakibatkan polusi udara. Sedangkan produk industri kelapa sawit memberikan manfaat yang positif sebagai bahan bioenergi yang lebih ramah lingkungan karena diproduksi dari bahan organic dan dapat diperbaharui.

1.2. Permasalahan

· Proses perusakan lingkungan tetap terus berjalan dan kerugian yang ditimbulkan harus ditanggung oleh banyak pihak, tetapi solusi yang tepat belum saja ditemukan.

· Masih adanya kesenjangan yang tetap terpelihara antara masyarakat, industri, pemerintah dan penegak hukum, walaupun sudah ada Undang-undang Lingkungan Hidup sebagai perangkat hukum

1.3. Tujuan

Secara umum tujuan dari penulisan makalah ini untuk memahami tentang limbah industri kelapa sawit. Sedangkan secara khusus penulisan ini bertujuan :

· Mengidentifikasi sumber, jenis,dampak dari pada limbah industri kelapa sawit

· Mengidentifikasi pengendalian limbah industri kelapa sawit.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pohon Industri Kelapa Sawit

Dari kelapa sawit bisa dibuat berbagai produk turunan yang dapat diolah secara lebih lanjut. Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk mensiasati dalam pengolahan pemanfaatan limbah kelapa buah sawit.

2.2. Limbah Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia yeng perkembangannya sangat pesat. Selain produksi minyak kelapa sawit yang tinggi, produk samping atau limbah pabrik kelapa sawit juga tinggi. Secara umum limbah dari pabrik kelapa sawit terdiri atas tiga macam yaitu limbah cair, padat dan gas. Limbah cair pabrik kelapa sawit berasal dari unit proses pengukusan (sterilisasi), proses klarifikasi dan buangan dari hidrosiklion. Pada umumnya, limbah cair industri kelapa sawit mengandung bahan organic yang tinggi sehingga potensial mencemari air tanah dan badan air.

Sedangkan limbah padat pabrik kelapa sawait di kelompokan menjadi dua yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah cair. Limbah padat yang berasal dari proses pengolahan berupa Tandan Kosong, serabut atau serat, sludge atau lumpur, dan bunkil, TKKS dan lumpur yang tidak tertangani menyebabkan bau busuk, tempat bersarangnya serangga lalat dan potensial menghasilkan lindi (leachatea). Limbah padat yang berasal dari pengolahan limbah cair berupa lumpur aktif yang terbawa oleh hasil pengolahan air limbah. Kandungan unsure hara kompas yang berasal dari limbah kelapa sawit sekitar 0,4 % (N), 0,029 sampai 0,05 % (P2O5), 0,15 sampai 0,2 % (K2O).

Pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit dari kolam anaerobic sekunder dengan BOD 3.500 – 5000 mg/liter yang dapat menyumbangkan unsure hara terutama N dan K, bahan organic, dan sumber air terutama pada musim kemarau. Setiap pengoalahan 1 ton TBS akan menghasilkan limbah pada berupa tandan kosong sawit (TKS) sebanyak 200 kg, sedangkan untuk setiap produksi 1 ton minyak sawit mentah (MSM) akan menghasilkan 0,6 – 0,7 ton limbah cair dengan BOD 20.000-60.000 mg/liter. Kandungan hara limbah cair PKS adalah 450 mg N/l, 80 mg P/l, 1,250 mg K/l dan 215 mg/l. Sistem aplikasi limbah cair dapat dilakukan dengan system sprinkle (air memancar), flatbed (melalui pipa ke bak-bak distribusi ke parit sekunder), longbed (ke parit yang lurus dan berliku-liku) dan traktor tanki (pengangkutan limbah cair dari IPAL/Instalasi Pengolah Air Limbah) ke areal tanam.

2.3. Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit

Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak kelapa sawit adalah limbah cair dan limbah padat. Limbah padatnya berupa tandan buah kosong dan cangkang sawit. Tandan buah kosong umunya dapat dimanfaatkan kembali dilahan perkebunan kelapa sawit untuk dijadikan pupuk kompos. Prosesnya terlebih dahulu dicacah sebelum diaplikasikan (dibuang) ke lahan. Sedangkan cangkang buah sawit dapat dimanfaatkan kembali sebagai alternatif bahan bakar (alternative fuel oil) pada boiler dan power generation.

Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan industri pengolahan minyak sawit merupakan sisa dari proses pembuatan minyak sawit yang berbentuk cair. Limbah ini masih banyak mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan tanah. Limbah cair ini biasanya digunakan sebagai alternatif pupuk di lahan perkebunan kelapa sawit yang sering disebut dengan land application.

2.4. Peraturan Pemerintah Terkait

Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemanfaatan air limbah untuk digunakan sebagai pupuk pada lahan di perkebunan kelapa sawit yaitu:

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Dari Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2003 Tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.

Untuk melakukan pengelolaan limbah cair, diwajibkan melakukan kajian terlebih dahulu tentang kelayakan pemanfaatan air limbah sebagai pupuk pada tanah diperkebunan. Hasil kajian ini akan menjadi dasar dalam pemberian ijin pemanfaatan tersebut. Selain kedua peraturan tersebut di atas yang mengatur secara spesifik pemanfaatan air limbah industri kelapa sawit, ada satu peraturan lagi yang dikeluarkan oleh KLH yang mengatur tentang baku mutu air limbah yang boleh dibuang ke lingkungan, yaitu Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995.

SUMBER PENCEMAR, PENYEBAB PENCEMAR, JENIS PENCEMARAN, DAMPAK LINGKUNGAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA.

3.1. Sumber Pencemar, Penyebab Pencemar, Jenis Pencemar dan Dampak Lingkungan

3.1. 1. Limbah Cair

Limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan kelapa sawit dapat berupa limbah cair dan limbah padat. Limbah cair yang dihasilkan berupa Palm Oil Mill Effluent (POME) air buangan kondensat (8-12 %) an air hasil pengolahan (13-23 %).

Bahkan saat ini limbah cair hasil pengolahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 28,7 juta ton limbah / tahun. Ketersediaan limbah itu meupakan potensi yang sangat besar jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Namun sebaliknya akan menimbulkan bencana bagi lingkungan dan manusia jika pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik dan profesional.

Limbah cair kelapa sawit mengadung konsentrasi bahan organik yang relatif tinggi dan secara alamiah dapat mengalami penguraian oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih sederhana. Limbah cair kelapa sawit umumnya berwarna kecoklatan dan mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid serta residu minyak dengan kandungan biological oxygen demand (BOD) yang tinggi. Bila limbah cair ini dibuang ke perairan akan berpeotensi mencemari lingkungan karena akan mengurangi biota dan mikroorganisme perairan dan dapat menyebabkan keracunan, sehingga harus diolah sebelum dibuang. Standar baku mutu lingkungan limbah yang dihasilkan pabrik CPO adalah pH 6 – 9, BOD 250 ppm, COD 500 ppm, TSS (total suspended solid) 300 ppm, NH3 – N 20 ppm, dan oil grease 30 ppm (Naibaho, 1996).

Limbah cair yang ditampung pada kolam-kolam terbuka akan melepaskan gas metan (CH4) dan CO2 yang menaikkan emisi penyebab efek rumah kaca yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Selain itu gas metan tersebut juga menimbulkan bau yang tidak sedap.

Meskipun dengan beberapa teknologi yang telah dikembangkan saat ini limbah cair kelapa sawit dapat menghasilkan biogas, pakan ternak, bahan pembuat sabun, serta pembuatan biodiesel, dan air sisanya dapat digunakan untuk pengairan bila telah memenuhi standar baku mutu lingkungan, tetapi bila limbah cair ini tidak ditangani dengan baik dan profesional akan mengakibatkan kerusakan lingkungan.

3.1.2. Limbah Padat

Limbah padat yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit terdiri atas tandan kosong kelapa sawit (20-23 %), serat (10-12 %), dan tempurung / cangkang (7-9 %) (Naibaho, 1996). Berikut ini adalah komposisi bahan organik serat dan tandan kosong kelapa sawit. Limbah padat yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit di Indonesia mencapai 15,20 juta ton limbah / tahun. Limbah padat berupa cangkang, tandan kosong, serat, pelepah, dan batang sawit mengandung 45 % selulose dan 26 % hemiselulose. Limbah-limbah ini akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Pemanfaatan limbah padat dapat berupa pembuatan pupuk kompos, bioetanol, bahan pulp untuk pembuatan kertas, pembuatan sabun dan media budidaya jamur.

3.1.3. Limbah Gas

Limbah gas yang dihasilkan industri kelapa sawit dapat berupa gas hasil pembakaran serat dan cangkang untuk pembangkit energi serta gas metan dan CO2 yang dihasilkan oleh kolam-kolam pengolahan limbah cair. Limbah gas ini akan menyebabkan meningkatnya kadar CO2 dan mengakibatkan polusi udara.

3.2. Pengendalian/ Pengelolahan Limbah Buah Kelapa Sawit

3.2.1. Konsep Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit

Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dari zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat (Agustina, dkk, 2009). Dalam pengelolaan industri kelapa sawit juga dihasilkan limbah baik yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit maupun yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit. Untuk menghindari masalah lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri kelapa sawit, maka diperlukan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini didukung oleh sikap untuk menciptakan produk yang harus berorientasi lingkungan dan harus dibuat dengan proses yang ramah lingkungan (green consumerism) dan menempatkan lingkungan sebagai non tariff barrier. Oleh karena itu pendekatan yang banyak diterapkan adalah konsep produk bersih (cleaner production). Konsep ini dilakukan dengan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu, dan diterapkan secara terus menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu hingga hilir yang terkait dengan proses produksi, produk, dan jasa untuk meningkatkan efesiensi pemakaian sumberdaya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya, sehingga dapat meminimalisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan. Kata kunci yang diperlukan dalam pengelolaan adalah menimalkan limbah, analisis daur hidup, teknologi ramah lingkungan. Pola pendekatan untuk menciptakan produk bersih adalah pencegahan dan meminimalisasi limbah yang menggunakan hirarki pengelolaan melalui 1 E 4 R yaitu Elimination (pencegahan), Reduce (pengurangan), Reuse (penggunaan kembali), Recycle (daur ulang), Recovery / Reclaim (pungut ulang) (Panca Wardhanu, 2009

3.2.2. Pengelolaan Limbah Cair Limbah Industri Kelapa Sawit

Limbah cair kelapa sawit dapat menghasilkan biogas dengan melakukan rekayasa. Limbah cair ditempatkan pada tempat khusus yang disebut bioreaktor. Bioreaktor dapat diatur sedemikian rupa sehingga kondisinya optimum untuk meproduksi biogas. Selain itu juga dapat ditambahkan mikroba untuk mempercepat pembentukan gas metan untuk menghasilkan biogas. Proses tersebut dapat menghasilkan potensi yang sangat besar. Dari 28,7 juta ton limbah cair kelapa sawit dapat dihasilkan 90 juta m3 biogas yang setara dengan 187,5 milyar ton gas elpiji (Anonymous, 2009). Selain itu limbah cair dapat juga dimanfaatkan untuk pakan ternak, bahan pembuat sabun, serta pembuatan biodiesel, dan air sisanya dapat digunakan untuk pengairan bila telah memenuhi standar baku mutu lingkungan.

Salah satu elemen yang sangat penting dalam operasional Pabrik Kelapa Sawit adalah dalam hal pengelolaan Limbah, salah satunya adalah limbah cair atau effluent yang jumlahnya lebih kurang 60% dari capasitas olah pabrik.

Jika pabrik mengolah FFB (fresh fruit bunches) sebanyak 420 ton sehari maka limbah cair yang dihasilkan adalah lebih kurang 252 ton effluent. Hal ini jika tidak menjadi perhatian tentunya dapat mencemari lingkungan disekitarnya apalagi tanpa adanya treatmen.

Akan tetapi dengan pengelolaan yang baik tidak saja menjadi ramah lingkungan akan tetapi menjadi nilai tambah untuk perusahaan karena dapat di jadikan sebagai nutrien pengganti pupuk dengan cara Land Aplikasi ataupun dikombinasikan dengan Janjangan Kosong sehingga menjadi Enriched Mulch yang dapat menggantikan fungsi pupuk an organik.

Jika limbah cair PKS tersebut dibuang langsung ke perairan atau diaplikasikan ke lahan kebun akan mengakibatkan perubahan sifat fisika, kimia, dan biologi bagi badan penerima. Oleh karena itu harus dilakukan pengolahan dan pengelolaan pada limbah sebelum dibuang ke badan penerima.

Pemanfaatan buangan akhir dari Pengolahan Limbah cair ke Land Application adalah upaya untuk menjadikan program produksi bersih yang meniadakan buangan akhir limbah cair ke badan air yang dapat mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan.

Untuk penampungan limbah di lahan kebun harus disediakan parit-parit penampung yang disebut trenches. Program ini dilakukan harus mendapat izin dari pemerintah sesuai peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Limbah cair atau POME yang menjadi pemantauan utama adalah Centrifuge Waste. Hal ini mengingat tingkat pencemarannya sangat tinggi.

Metoda POME ini sederhana dan cepat hanya membutuhkan bahan kimia dan peralatan yang relatif murah.

3.2.3. Pengelolaan Limbah Padat Limbah Industri Kelapa Sawit

Limbah padat yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit terdiri atas tandan kosong kelapa sawit (20-23 %), serat (10-12 %), dan tempurung / cangkang (7-9 %) (Naibaho, 1996). Tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos dengan proses fermentasi dan dimanfaatkan kembali untuk pemupukan kelapa sawit itu sendiri. Penggunaan pupuk tandan kosong kelapa sawit dapat menghemat penggunaan pupuk kalium hingga 20 %. 1 ton tandan kosong kelapa sawit dapat menghasilkan 600-650 kg kompos.

Selain itu tandan kosong kelapa sawit mengandung 45 % selulose dan 26 % hemiselulose. Tingginya kadar selulose pada polisakarida tersebut dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana dan selanjutnya difermentasi menjadi bioetanol. Bioetanol ini dapat digunakan sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui dengan cepat (renewable). 1 ton tandan kosong kelapa sawit dapat menghasilkan 120 liter bioetanol (Anonymous, 2009).

Tandan kosong kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pulp untuk pembuatan kertas. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan sabun dan media budidaya jamur, sehingga dapat menambah pendapatan dan mengurangi limbah padat.

Cangkang dan serat kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai sumber energi potensial. Cangkang dan serat kelapa sawit biasanya dibakar untuk menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan oleh pembakaran cangkang dan serat telah mencukupi kebutuhan energi pengolahan pabrik kelapa sawit. Namun seiring dengan pelarangan pembakaran cangkang dan serat, maka serat dan cangkang dimanfaatkan untuk keperluan lain. Cangkang saat ini telah dimanfaatkan untuk pembuatan berikat arang aktif dan bahan campuran pembuatan keramik. Sedangkan serat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk.

Sementara itu limbah yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit berupa pelepah kelapa sawit dan batang kelapa sawit telah dimanfaatkan sebagai bahan pulp untuk pembuatan kertas dan perabot. Sedangkan daun dan pelepah kelapa sawit digunakan untuk pakan ternak ruminansia.

3.3. Pemanfaatan Limbah Pabrik Sawit untuk Pakan Sapi.

3.3.1. Tandan kosong

Tandan kosong merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan oleh pabrik pengolahan sawit. Bahan ini mempunyai protein 3,7 % dan nilai gizinya sama, atau lebih baik dari jerami pada (Osman, 1998). Akan tetapi, teksturnya keras seperti kayu, selungga, tidak disukai oleh ternak kecuali bahan ini diolah lebih dahulu dalam bentuk lain yang lebih disukai.

Meskipun sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk pemanfaatan tandan kosong menjadi pakan ternak, kenyataannya sampai saat ini, bahan tersebut umumnya masih digunakan sebagai mulsa, yang dikendalikan ke kebun sawit. Pemanfaatan bahan ini sebagai bahan pakan mungkin merupakan alternatif terakhir, bila bahan pakan lain tidak tersedia lagi.

3.3.2. Serat perasan buah

Serat sisa perasan buah sawit merupakan serabut berbentuk seperti benang. Bahan ini mengandung protein kasar sekitar 4% dan serat kasar 36% (lignin 26%). Dari komposisi kimia yang dimiliki, bahan ini mempunyai kandungan gizi yang setara dengan rumput.

Penggunaan serat perasan buah sawit dalam ransum sapi telah diteliti oleh Hutagalung et al. (1986). Bahan ini mernpunyai nilai kecernaan sekitar 47%. Penggunaan serat perasan dalam ransum sapi disarankan sekitar 10% dari konsumsi bahan kering. Serat perasan ini kurang disukai oleh ternak sapi, oleh karena itu perlu pengolahan agar bahan ini dapat digunakan secara optimal. Proses fermentasi temyata dapat meningkatkan palatabilitas bahan ini (Suharto, 2004). Perlakuan amoniasi telah dilaporkan dapat meningkadm pertambahan bobot badan sapi bila dibandingkan dengan yang tidak di proses (Hutagalung et al., 1986), seperti terlihat pada Tabel 2. Rossi dan Jamarun (1997) melaporkan serat sawit dapat digunakan sebagai pengganti 50% nunput lapangan dalarn ransum sapi dengan suplementasi bungidl inti sawit.

3.3.3. Lumpur sawit

Dalam proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cairan yang sangat banyak, yaitu sekitar 2,5 m3/ton CPO yang dihasilkan. Limbah ini mengandung bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu. ‘biochemical oxygen demand’ (BOD) sekitar 20.000‑60.000 mg/l (Wenten, 2004). Pengurangan bahan padatan dari cairan ini dilakukan dengan menggunakan suatu alat decanter, yang menghasilkan solid ‘decanter atau lurnpur sawit. Bahan padatan ini berbentuk seperti lumpur, dengan kandungan air sekitar 75%, protein kasar 11‑14% dan lemak kasar 10‑14%. Kandungan air yang cukup tinggi, menyebabkan bahan ini mudah busuk. Apabila dibiarkan di lapangan bebas dalam waktu sekitar 2 hari, bahan ini terlihat ditumbuhi oleh jamur yang berwarna kekuningan. Apabila dikeringkan, lumpur sawit berwarna kecoklatan dan terasa sangat kasar dan keras. Banyak penelitian telah dilaporkan tentang penggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun non‑ruminansia. Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada ternak sapi, Suharto (2004) menyimpullm bahwa kualitas lumpur sawit lebih unggul dan dedak padi.

Sutardi (1991) melaporkan penggunaan lumpur sawit untuk menggantikan dedak dalam ransum sapi perah jantan maupun sapi perah laktasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggantian semua (100%) dedak dalam konsentrat dengan lumpur sawit memberikan perturnbuhan dan produksi susu yang sama dengan kontrol. Bahkan ada kecenderungan bahwa kadar protein susu yang diberi ransum lumpur sawit lebih tinggi dari kontrol. Hal yang serupa juga, dilaporkan oleh Suharto (2004). Menurut Chin (2002), pemberian lumpur sawit yang dicampur dengan bungidl inti sawit dengan perbandingan 50:50 adalah yang terbaik untuk pertumbuhan sapi. Dilaporkan bahwa sapi droughtmaster yang digembalakan di padang penggembalaan rumput Brachiaria decumbens hanya mencapai pertmbuhan 0,25 kg/ekor/hari, tetapi dengan penambahan lumpur sawit yang dicampur dengan bungkil inti sawit, mampu mencapai pertmbuhan 0,81 kg/ekor/hari.

3.3.4. Solid Membran

Limbah cairan yang dikeluarkan setelah pengutipan lumpur sawit, masih mengandung bahan padatan yang cukup banyak. Oleh karena, itu, bahan ini merupakan sumber kontaminan bagi lingkungan bila, tidak dikelola, dengan baik. Suatu metoda baru untuk memisahkan padatan dan cahun~ dengan menggunakan alat penyaring membran keramik sedang dikembangkan di P.T. Agricinal ‑Bengkulu (Wenten, 2004). Aplikasi teknik ini dapat mengutip padatan dengan jumlah sekitar dua, kali lipat lebih banyak dari padatan yang dikutip oleh decanter. Bahan ini disebut ’solid heavy phase’ atau ’solid membran’, berbentuk pasta dengan kadar air sekitar 90%, dan berwarna. kecoklatan. Bahan yang sudah dikeringkan mengandung protein kasar sekitar 9 %, serat kasar 16% dan lemak kasar 15% (Tabel 1). Dari kandungan gizinya, kemungkinan bahan ini bukan hanya, cocok digunakan sebagai bahan pakan untuk temak ruminansia, tetapi kemungkinan juga. baik untuk temak non‑ nuninansia. Belum ada, penelitian tentang penggunaan bahan ini sebagai bahan pakan temak, eksplorasi untuk ini sedang dilakukan di Balai Penelitian Temak ‑ Ciawi.

3.4.5.Bungkil Inti Sawit

Bungkil inti sawit merupakan hasil samping dari pemerasan daging buah inti sawit. Proses mekanik yang dilakukan dalam proses pengambilan minyak menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal relatif cukup banyak (sekitar 7‑9 %). Hal ini menyebabkan bungIdl inti sawit cepat tengik akibat oksidasi lemak yang masih tertinggal‑ Kandungan protein baban ini cukup tinggi, yaitu sekitar 12‑16%, dengan kandungan serat kasar yang cukup tinggi (36%). Bungkil inti sawit biasanya terkontaminasi dengan pecahan cangkang sawit dengan jumlah sekitarl5‑17%. (Anonymous, 2002). Pecahan cangkang ini mempunyai tekstur yang sangat keras dan tajam. Hal im menyebabkan bahan tersebut kurang disukai ternak dan dikhwatirkan.

3.4. Pemanfaatan Tandan Kosong Untuk Kompos

Limbah padat tandan kosong sawit (TKS) dibakar dalam incinerator dan abunya yang mengandung Kalium cukup tinggi yaitu mencapai 127,9 mg/100 g. Sistem pengomposan untuk tandan kosong kelapa sawit (TKKS) di sebut kompos bioaktif. Proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit menjadi kompos bioaktif berlangsung 3-6 bulan. Hal ini dapat dipercepat menjadi 2-3 minggu apabila dikombinasikan antara pencacahan atau pengecilan bahan baku dengan mesin pencacah dan pemberian aktivator dekomposisi yaitu orgadec (organik decomposer)

Pada kelapa sawit, dengan menggunakan kompos bioaktif TKKS yang matang (C/N ratio, 20) dengan 50 % dosis pupuk konensional, meningkatkan produksi dan mempercapat masa produksi tanaman kalapa sawit dari 30 – 32 bulan menjadi 22 bulan.

Dari survey yang dilakukan pemupukan kelapa sawit TBM kandungan hara dalam satu hektarnya adalah 80,4 kg N, 9,9 kg P, 106,8 kg K dan 12 kg Mg. Nilai ini didapat bahwa rata-rata dosis yang umum digunakan adalah 1,25 kg urea, 0,50 kg RP, 1,50 kg MOP dan 0,50 kg Kieserit.

PENUTUP

1. Pengembangan perkebunan kelapa sawit memberikan dampak positif dan negatif. Oleh karena dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) harus memperhatikan dan menyerasikan fungsi-fungsi lingkungan.

2. Dalam pengelolaan industri kelapa sawit agar terwujud produk bersih perlu menerapkan prinsip 1E 4 R (Elimination, Reduce, Reuse, Recycle, dan Recovery).

3. Peningkatan luas kebun sawit yang diiringi dengan peningkatan jumlah produksi mengakibatkan bertambahnya jumlah atau kapasitas industri pengolahan minyak sawit. Hal ini juga akan menimbulkan masalah, karena limbah yang dihasilkan akan bertambah pula, dan apabila tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik akan menyebabkan pencemaran lingkungan

DAFTAR PUSTAKA

Haruki Agustina, pengelolahan Bahan dan Limbah Berbahaya dan Beracun, C:\Documents and Settings\Acer\My Documents\Downloads\article.php.htm

Parpen Siregar. 2009, Dampak Ekologi Pengembangan, http://uwityangyoyo.wordpress.com/2009/07/07/dampak-ekologi-pengembangan-perkebunan/

Parpen Siregar, Afrizon, Surahman Aidi, dan Syafaruddin. 2009, Pengelolaan limbah Industri kelapa sawit berwawasan Lingkungan, C:\Documents and Settings\Acer\My Documents\Downloads\JURNAL LINGKUNGAN.htm

Kelapa Sawit, Dari Wikipedia bahasa Melayu, ensiklopedia bebas, C:/Document and Settings/Acer/My Doci=ument/Donloads/Kelapa-sawit.htm.

Rasmawan, (2009). Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit Pakan Ternak Sapi di Bengkulu http://uwityangyoyo .wordpress.com/2009/05/16/pemanfaatan-limbah-pabrik-sawit untuk-pakan-ternak-sapi-di-bengkulu/

Santobri, (2008), Pengolahan janjang kelapa sawit, http://aaobring.blogspot.com/2008/08/pengelolaan-janjang-kosong-kelapa-sawit.html.

EVALUASI ADANYA STATEMENT DAN KOMITMENT POLITIK DARI PEMERINTAH TERHADAP PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Marhaini/20093602004

Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Lingkungan

Perbaikan Tugas I

ABSTRAK

Indonesia sangatlah kaya akan berbagai sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Sumber daya alam yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia tersebut disadarin suatu ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan.

Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan indutrialisasi maka tekanan terhadap sumber daya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumber daya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kenyataan betapa pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam lainnya dari tahun ke tahun bukannya menurun, akan tetapi semakin besar. Dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis sementara suksesi sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yang telah diekspoloitasi membutuhkan wakatu lama untuk dapat diperbaharui kembali.

Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena itu kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan hukum konservasi pun pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hukum untuk tercapainya dalam pengelolaan sumber daya alam.

Keberhasilan pemerintah dalam mencapai statement dan komitmet dalam pengelolaan lingkungan akan sangat tergantung kepada berbagai pihak baik termasuk masyarakat dan apatur di tingkat pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota untuk secara bersama-sama memahami hakekat otonomi daerah yang sebenarnya di bidang konservasi alam serta penyelenggaraannya otonomi daerah yang terkait dengan kepentingan pengelolaan kawasan konservasi hendaknya dilakukan berdasarkan kesepakatan semua pihak.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia termasuk sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Anugerah tersebut diantaranya terdiri dari kekayaan hutan produksi yang mencapai 71,8 juta ha, potensi perikanan laut sebesar 6,7 juta ton pertahun dan tembaga sebesar 40,3 miliar pounds (Econit Advisory Group). Demikian juga dengan berbagai potensi tambang lainnya seperti emas, minyak dan gas bumi serta berbagai sumber-sumber daya alam yang jumlahnya cukup besar di Indonesia.

Disamping itu Indonesia juga di kenal sebagai pemilik spesies terbesar di dunia, yaitu 17 % dari seluruh spesies yang terdapat di muka bumi kendatipun luas wilayahnya hanya 1,3 % dari wilayah dunia. Diperkirakan Indonesia memiliki 11 % dari spesies tumbuhan berbunga yang sudah di ketahui, 12 % binatang menyusui, 15 % amfibi dan reptilian, 17 % jenis burung dan sekitar 37 % jenis-jenis ikan yang ada di dunia. (UNESCO, 1992). Kekayaan tersebut suatu ketika tentu saja akan punah atau habis, jika pengolahannya tidak dilakukan secara bijaksana dan berkelanjutan. Pengolahan yang berkelanjutan diantaranya adalah melalui statement dan komitmen pemerintah melalui pengembangan kebijakan konservasi.

Luas wilayah Indonesia sekitar 191 juta ha diantaranya adalah daratan, 317 ha lautan dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sekitar 473 ha. Dari seluruh kawasan daratan, terdapat 303 kawasan konservasi yang luasnya sekitar 16,2 juta ha. (DFIS, 1990). Sementara untuk kawasan laut, luasnya tercatat sekitar 3,2 juta ha yang terdiri dari 31 unit kawasan konservasi. ( Statistik Kehutanan Indonesia, 1996/1997).

Pengembangan kawasan konservasi ditujukan untuk mengusahakan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Oleh karena itu keberadaan fungsi-fungsi keanekaragaman hayati tersebut sangatlah penting. Kawasan ekosistem Leuser dan Taman nasional Kutai misalnya di yakini sebagai paru-paru dunia yang memberikan kontribusi sangat besar dalam produksi oksigen. Bahkan pentingnya perlindungan kawasan konservasi sebagi Situs Warisan Dunia ( World Heritage Site ), dimana Indonesia telah memiliki 3 kawasan Taman Nasional dengan status Situs Warisan Dunia ( Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Komodo dan Taman Naional Lorentz).

Namun kawasan-kawasan konservasi tersebut saat ini tengah berada dalam ancaman kerusakan, penurunan mutu dan upaya-upaya eksploitasi. Ancaman terhadap kawasan-kawasan koservasi, disamping muncul dari sebab-sebab alam, juga diakibatkan aktivitas manusia. Kerusakan atau punahnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh beberapa penyebab (Mc. Neely et, Al, 1990, Soule, 1991), yaitu perusakkan langsung populasi spesies secara berlebihan dan pengenalan spesies eksotik. Disamping itu tekanan-tekanan yang muncul, baik secara langsung ataupun tidak langsung atas aktivitas manusia dapat menyebabkan musnahnya keragaman hayati.

Di Indonesia, kerusakkan berbagai keanekaragaman hayati antara lain muncul akibat aktivitas perusahaan-perusahaan tambang, pengusaha perkebunan maupun pengusaha HPH yang berusaha menerobos kawasan-kawasan konservasi yang diduga memiliki sumber daya alam hutan ataupun tambang yang terdapat didalam kawasan konservasi yang ada. Kendatipun untuk kawasan seperti cagar alam dan taman nasional sudah dilarang adanya kegiatan eksploitasi, akan tetapi upaya-upaya untuk melakukan eksploitasi tidak pernah berkurang.

Di samping itu, penyererobotan kawasan konservasi seringkali juga dilakukan oleh pengusaha yang wilayah konsesinya berbatasan atau berdekatan dengan kawasan konservasi dengan coba merambah hingga kawasan hutan lindung. Demikian pula pembukaan lahan atau pembersihan lahan dengan membakar yang dilakukan secara tidak hati-hati telah menyebabkan sejumlah kawasan lindung turut terbakar dan musnah di makan api. Kebakaran yang terjadi tahun 1983 di Kalimantan Timur telah memusnahkan hutan lindung seluas 304.000 hektar, cagar alam dan suaka margasatwa 192.000 hektar. Kebakaran hutan kemudian seolah mejadi bencana tahunan yang selalu menimbulkan banyak kerugian (Haerumann, 1997) termasuk terganggunya jadwal penerbangan, tabrakan kapal di laut dan masalah asap yang melanda negara-negara tetangga.

Namun demikian tidak sedikit pula pihak-pihak yang didukung oleh peralatan yang canggih secara illegal berani melakukan eskploitasi kayu di hutan lindung ataupun penangkapan ikan dan melakukan aktivitas lainya di wilayah-wilayah perairan konservasi yang ternyata merusak berbagai terumbu karang.

Ancaman lain yang tidak kalah besar dampaknya terhadap keberadaan kawasan konservasi muncul dari masyarakat sekitar hutan. Ancaman tersebut berupa pengambilan kayu, pembukaan lahan ataupun perburuan liar. Apabila upaya para pengusaha besar untuk melakukan eksploitasi kawasan-kawasan konservasi ataupun aktivitas pembukaan lahan secara tidak bertanggung jawab di latar belakangi oleh keinginan mendapatkan keuntungan secara mudah, maka upaya masyarakat sekitar hutan lebih didasarkan oleh motivasi pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Melihat berbagai kebijakan yang ada, konsepsi perlindungan dan pelestarian merupakan kebijakan yang inheren dan telah ada dalam pengelolahan sumber daya alam , termasuk kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati, yang sebenarnya telah ada bahkan sejak zaman pemerintahan colonial Belanda. Terdapat beberapa aturan seperti Undang-undang Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura (Reglement op het beheer en de exploitatie der houtbossem op Java en Madoera) pada tahun 1865, Reglement 1874, 1897, 1913 dan ordonantie hutan 1927.

Pemerintahan Orde baru mengembangkan kebijakan perlindungan sumber daya alam (hutan) secara umum di dalam UUPK, khususnya tentang perlindungan hutan yang juga, mengatur perburuan satwa liar. Ketentuan perlindungan pada tahun 1985. Kebijakan tersebut kemudian di susul dengan kebijakan lainnya seperti UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengolahan Lingkungan Hidup. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengolahan Kawasan Daya Alam Hayati dan Ekositemnya (UU KSDH). Undang-undang KSDH merupakan Undang-undang turunan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982.

Berbagai statement dan komitment Direktorat Jenderal Pelestarian Alam dan Perlindungan Hutan (Ditjen PHPA) sehubungan dengan kegiatan konservasi, yang secara umum menyangkut perencanaan , pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan dan evaluasi. Pengolahan termasuk didalamnya pemantauan kawasan, perlindungan dan pengamanan kawasan, kegiatan penelitian dan pendidikan, pengolahan wisata alam hingga pengembangan integrasi dan koordinasi. Namun demikian berbagai kebijakan, produk hukum, kelembagaan maupun program-program yang ada ternyata tidak menunjukan atau memberikan hasil yang signifikan berupa terlindunginya berbagai kawasan konservasi beserta berbagai keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Apalagi harapan untuk meningkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas, berbagai spesies yang ada.

Statement dan komitment pemerintah untuk mengatasi berbagai tindakan perusakan atau eksploitasi di kawasan-kawasan konservasi adalah dengan di rubah menjadi pengolahan yang menempatkan daerah sebagai pelaku utama (desentralisasi). Dikarenakan tampaknya pemerintah kesulitan untuk melaksanakan statement dan komitment konservasi yang disebabkan oleh :

1. Luasnya cakupan kawasan konservasi, dari Leuser di Aceh bagian barat Indonesia hingga Lorentz di wilayah bagian timur Indonesia.

2. Minimnya dana konservasi

3. Terbatasnya sumber daya manusia yang tersedia, baik dari sudut kuantitas maupun kualitas.

4. Kuatnya ego departemen sektoral (seperti Departemen Pertambangan atau Departemen Pertanian) untuk melakukan eksploitasi di kawasan konservasi yang memunculkan konflik inter departemen, disamping intra departemen kehutanan sendiri

5. Lemahnya penegakan hukum.

Hal yang mendorong desentralisasi misalnya, dapat dilihat dari beberapa kenyataan :

1. Pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan daerahnya, sehingga mereka dapat merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya secara lebih baik dari pemerintah pusat.

2. Jika ada masalah akan cepat diatasi karena Pemerintah Daerah akan lebih cepat dan mudah mengetahui.

3. Jumlah masalah yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah jauh lebih sedikit karena hanya menyangkut masalah mereka sendiri.

Akibat minimnya perhatian pemerintah daerah dan masyarakat terhadap kualitas kawasan konservasi, dikhawatirkan akan menimbulkan akibat yang lebih fatal pada keberadaan dan fungsi dari kawasan dan berbagai keanekaragaman hayati yang terdapat ke dalamnya.

1.2. Permasalahan

1. Indonesia sangatlah kaya akan berbagai sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya. Sumber daya alam yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia tersebut disadari suatu ketika akan habis dan punah jika pengolahannya dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan

2. Melihat tingkat kerusakan yang terjadi dan aktivitas-aktivitas yang sangat potensial menjadi ancaman terhadap kawasan konservasi, serta persoalan-soalan yang memunculkan sejauhmana kebijakan dan institusi yang mendukung kearah pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan.

1.3. Tujuan dan Manfaat

1. Untuk menghasilkan suatu analisis terhadap kebijakan dan hukum sebagai statement dan komitment dari pemerintah dalam pengembangan pengelolaan sumber daya alam khususnya pengelolaan kawasan konservasi yang bertumpu pada daerah dan peran masyarakat.

2. Kajian terhadap substansi dan efektifitas dari berbagai kebijakan dan hukum khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi.

3. Memberikan dasar-dasar hukum dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi melalui pengintegrasian aspek desentralisasai dan peran masyarakat sehingga keberadaan, keutuhan serta kekayaan dan keanekaragaman hayati dapat mendukung statement dan komitment pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena itu kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan hukum konservasi pun dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hukum pengelolaan sumber daya alam.

Sebenarnya diketahui bahwa sebenarnya peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Namun dalam hal ini kebijakan diartikan dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang masih harus dijabarkan terlebih dahulu didalam berbagai peraturan perundangan-undangan. Kebijakan yang dimaksud disini diantaranya adalah UUD 1945, Ketetapan MPR dan garis-garis besar haluan Negara (GBHN), ataupun pernyataan pejabat Negara.

Undang-undang Dasar 1945 lebih menekankan pada pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat. Perhatian terhadap upaya “perlindungan” belum dikandung baik secara eksplisit maupun implisit. UUD 1945 menyebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sementara itu melalui Tap MPR kemudian ditetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisikan konsepsi dan arah pembangunan, GBHN kemudian dijabarkan oleh Pemerintah dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun atau REPELITA.

Ketetapan-ketetapan MPR tentang GBHN selama beberapa periode telah memberikan arah yang cukup jelas bagi pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pengembangan kebijakan konservasi. Apa yang terdapat di dalam GBHN terakhir (1988-2003) misalnya, menekankan bahwa pembangunan lingkungan hidup diarahkan agar lingkungan hidup dapat tetap berfungsi sebagai pendukung dan penyangga ekosistem kehidupan dan terwujudnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian yang dinamis antara system ekologi, sosial, ekonomi dan sosial budaya agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam bagian lain juga disebutkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (sustainable ecologically Development) ditujukan bagi penataan ruang, tata guna lahan, tata guna sumber daya air, laut dan pesisir serta sumber daya alam lainnya yang didukung oleh aspek sosial budaya lainnya sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang harmonis dan dinamis.GBHN tersebut juga memberikan perhatian terhadap peran serta masyarakat. Namun tidak disinggung kemungkinan dikembangkannya desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Kendatipun GBHN 1988-2003 tidak memiliki legitimasi hukum menyusul dibubarkannya Pemerintahan Suharto pada Bulan Mei 1998, yang dengan sendirinya GBHN tersebut juga tidak lagi berlaku, namun dari konsepsi yang dimiliki tampak bahwa perhatian terhadap lingkungan hidup sebagai pendukung dan penyangga eksositem kehidupan cukup besar. Secara nilai, upaya untuk mengembangkan pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan dan memperhatikan keserasian telah dikembangkan di dalam GBHN 1998-2003.

Namun kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan serta kebijakan pembangunan pemerintah selama ini menunjukkan bahwa konsepsi bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, belum mampu mensejahterakan masyarakat. Justru yang palingmenonjol adalah penerjemahan Hak Menguasai Negara (HMN) dimana sumber daya alam yang ada seakan dimiliki secara mutlak oleh Negara. Tanah-tanah dengan status tanah adat yang banyak dikenal di Indonesia sejak zaman Kolonial Belanda seakan

menjadi hapus apabila Negara menghendaki. Hal ini dapat dilihat di dalam UU Pokok Agraria (1960), UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan yang menyatakan bahwa Tanah adat dapat diakui sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, namun pengakuan tersebut hampir tidak pernah terjadi. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan penguasaan hutan. Sementara itu, di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan. Disinilah sebenarnya akar dari berbagai ancaman dan konflik di dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat Adat dihilangkan akses dan kemampuannya untuk menentukan pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di sekitar mereka.

Secara lebih nyata -- dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan konservasi, HMN diterjemahkan sebagai hak negara untuk mengambil tanah adat atau tanah milik masyarakat yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung. Hal ini misalnya terjadi di beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi seperti di Haruku, Maluku, dan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau. Bahkan di Haruku yang telah ditetapkan Pemerintah sebagai hutan lindung tapi muncul aktivitas pertambangan. Sampai saat ini masih menjadi konflik antara masyarakat di satu sisi dengan Pemerintah dan perusahaan di sisi lain.

Sidang Istimewa MPR (SI MPR) yang berlangsung pada bulan Nopember 1998 menghasilkan beberapa Ketetapan, yang diantaranya adalah tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional

yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam

Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di dalam Tap MPR No. XV/1998 tersebut disebutkan bahwa Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimana penyelenggaraan tersebut dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan

memperhatikan keanekaragaman daerah. Di dalam pasal 5, ditekankan bahwa Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan. Hal ini, tentunya termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Tap MPR No. XV/1998 tersebut menunjukkan suatu kesadaran mengenai Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Hendaknya departemen terkait tidak lagi menterjemahkan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kepentingan atau ego sektoral masing-masing. Dalam upaya mempercepat realisasi Otonomi Daerah tersebut sudah saatnya instansi terkait melakukan koordinasi untuk menyamakan visi dan persepsi.

2.2. Peraturan Perundang-undangan

Telaahan terhadap peraturan perundang-undangan, yang berjumlah cukup besar sekitar 157 peraturan baik peraturan yang secara langsung mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi maupun yang tidak secara langsung mengatur namun berkaitan menunjukkan adanya beberapa persoalan, yaitu , Pertama , tidak adanya istilah yang baku terhadap kawasan yang dilindungi. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, menggunakan istilah Kawasan Lindung. Sementara itu Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya (KSDHE) cenderung menggunakan istilah konservasi. Direktorat yang memiliki tanggungjawab perlindungan sumber daya alam misalnya menggunakan istilah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Ditjen PHPA), kendatipun

sehari-hari mereka menggunakan istilah konservasi dan bukan perlindungan atau pelestarian. Baru-baru ini, melalui Keppres No. 192 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen sebagaiman telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 144 Tahun 1998. Pemerintah menggunakan nama baru untuk Ditjen PHPA yaitu Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Perbedaan istilah ini tentu saja dapat memberikan konsekuensi hukum tertentu.

Adanya dualisme kebijakan pemerintah yang di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan-kawasan tertentu dan menetapkannya sebagai kawasan konservasi, namun di sisi lain membuka peluang kawasan-kawasan tersebut untuk dieksploitasi. Hal ini dapat ditemukan di dalam PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, di dalam Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan di dalam SKB Menteri Pertambangan dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/08/MPE/1989 dan Nomor 492/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi Dalam Kawasan Hutan, yang hingga kini masih berlaku. SKB dua Menteri tersebut bahkan menegaskan bahwa di Kawasan Cagar Alam dapat dilakukan kegiatan pertambangan, termasuk di dalam kawasan yang akan ditetapkan sebagai Taman Nasional. Jika sebelumnya telah ada kegiatan tambang, maka kawasan tambang tersebut dikeluarkan dari penetapan taman nasional. Padahal, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDHE secara tegas menyebutkan bahwa di dalam Cagar Alam dan Taman Nasional tidak dibolehkan adanya kegiatan budi daya, yaitu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan Cagar Alam maupun Taman Nasional. Semestinya rujukan utama aturan mengenai kawasan konservasi adalah UU KSDHE, karena berdasarkan hierarki UU merupakan aturan yang paling tinggi. Apabila terdapat peraturan yang saling bertentangan, maka yang dijadikan acuan dan berlaku.

Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku perusak kawasan-kawasan konservasi. Berbagai aktifitas yang nyata-nyata mengancam atau bahkan telah merusak kawasan konservasi seringkali tidak dikenakan peringatan ataupun sanksi yang tegas. Hal ini dapat dilihat dari aktifitas pertambangan di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur, Taman Nasional Lorentz (sebelumnya Cagar Alam), Taman Nasional Bunaken dan sebagainya.

Kuatnya egosektoral, yang terlihat dari rekomendasi dan ijin yang diberikan oleh Departemen Pertambangan untuk aktifitas pertambangan, baik di Taman Nasional Lorentz maupun Taman Nasional Kutai, kendatipun UU No. 5 Tahun 1990 melarang. Dengan adanya kebijakan yang mendua, penggunaan istilah yang tidak baku, lemahnya penegakan hukum dan begitu kuatnya egosektoral, maka jelas ada persoalan mendasar di dalam kebijakan besar pengelolaan sumber daya alam kita. Persoalan mendasar tersebut adalah tidak adanya visi dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk visi pengelolaan kawasan konservasi. Disinilah kelihatan adanya gap antara konsepsi yang bagus di dalam GBHN atau UU KSDHE, dengan tidak adanya impelementasi yang konkrit. Das sein tersebut ternyata tidak tampak di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan sebaliknya berbagai peraturan dibuat mendua atau justru mendukung upaya eksploitasi kawasan konservasi yang semestinya dijaga kelestariannya.

2.3. Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat di Dalam Pengelolaan

Kawasan Konservasi

Akar dari berbagai persoalan dan konflik di dalam pengelolaan sumber daya alam adalah ketidakadilan dalam alokasi sumber daya alam itu sendiri. Di sisi lain pengelolaan yang sentralistik telah mematikan potensi Pemerintah Daerah termasuk peluangnya untuk mengembangkan daerah sesuai kebutuhan dan keinginan sendiri, dan tidak adanya hak dasar masyarakat untuk mengelola sumber daya alam yang terdapat disekitar mereka.

Ketidakadilan dalam distribusi hasil-hasil sumber daya alam yang dilandasi oleh system politik yang represif dengan, menarik aset-aset lokal tersebut ke Pusat, telah memberikan hasil yang sangat tidak signifikan terhadap daerah. Berbagai propinsi yang kaya akan sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, Aceh, Riau, ataupun Irian Jaya justru merupakan daerah-daerah yang miskin dan pembangunan daerahnya paling tertinggal. Sehingga tidak mengherankan munculnya tuntutan akan perimbangan keuangan Pusat Daerah, otonomi penuh bahkan keinginan untuk berpisah dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, pengakuan dan hak-hak masyarakat adat terhadap sumber daya alam tidak lagi mereka peroleh dan semakin dipinggirkan oleh pemerintah, melalui berbagai paket peraturan perundang-undangan sumber daya alam. Secara institusi, masyarakat adat telah dihapuskan dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, yang menghapuskan sistem pemerintahan adat seperti Marga, Nagari ataupun bentuk-bentuk lain dan membuat unifikasi sistem pemerintahan Desa.

Kajian mengenai Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat di Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi tidak dapat dipisahkan dari peta politik pemerintahan Pusat-Daerah-Desa tersebut. Oleh karena pada dasarnya Kawasan Konservasi tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan sumber daya alam pada umumnya.

Sebagaimana halnya dengan pengelolaan sumber daya alam selain tambang Galian C seperti pasir, batu dan sebagainya, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi pada umumnya masih bersifat sentralistik. Dengan perkataan lain pengelolaan kawasan konservasi masih dilakukan dari pusat. Kendatipun terdapat aturan umum penyerahan urusan di bidang konservasi sumber daya alam tetapi peraturan pelaksananya belum dikembangkan.

Dari kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, pemerintah masih tampak setengah hati untuk mengembangkan desentralisasi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya misalnya, menyebutkan bahwa “ dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintah Daerah. Ketentuan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun delapan (8) tahun UU KSDHE berjalan Peraturan Pelaksana tersebut belum juga dibuat.

Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan tidak membuka peluang desentralisasi sama sekali. Bahkan untuk kebakaran hutan, pencegahan dan pemadamannya masih bertumpu pada instansi-instansi kehutanan yang merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Pusat seperti Kanwil Kehutanan, Dinas Kehutanan, Unit Perum Perhutani dan Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Kehutanan. Demikian juga halnya dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung di dalam daerahnya masing-masing, tapi tidak untuk pengelolaannya.

Pada Tahun 1998 Pemerintah meluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan kepada Daerah. Di dalam PP ini disebutkan bahwa Kepada Kepala Daerah Tingkat I diserahkan urusan Pemerintah yang meliputi Pengelolaan Taman Hutan Raya dan Penataan Batas Hutan. Sementara itu kepada Kepala Daerah Tingkat II diserahkan urusan Pemerintah yang meliputi penghijauan dan konservasi tanah dan air, persuteraan alam, perlebahan, pengelolaan hutan milik/hutan rakyat, pengelolaan hutan lindung, penyuluhan kehutanan, pengelolaan hasil hutan non-kayu, perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru, perlindungan hutan dan pelatihan ketrampilan masyarakat di bidang kehutanan.

Terdapat beberapa catatan yang dapat diberikan terhadap PP No. 62 Tahun 1998 tersebut yaitu, 1). PP tersebut adalah turunan atau aturan tindak lanjut dari UU kehutanan, dan bukan dari UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDHE, 2) PP tersebut juga memuat bidangbidang tertentu yang merupakan bagian dari pengelolaan kawasan konservasi untuk diserahkan kepada Pemerintah Daerah, namun tidak kawasan seperti Taman Nasional, Cagar Alam dan sebagainya, 3). Desentralisasi pengusahaan hutan yang banyak dituntut oleh banyak pihak, yang seharusnya dimuat di dalam PP ini, justru tidak tercantum.

Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin pemerintah pusat mampu mengelola kawasan konservasi yang demikian luas, yang mencakup 16,2 juta hektar kawasan konservasi darat, dan 3,2 juta hektar kawasan konservasi laut. Berbagai data empirik menunjukkan bahwa pengelolaan yang sentralistik tersebut mengalami banyak hambatan. Oleh karena itu pengelolaan kawasan-kawasan konservasi oleh Pemerintah Daerah yang cenderung lebih memahami wilayahnya, berada dekat dengan objek konservasi itu sendiri lebih memungkinkan untuk melakukan secara lebih baik. Namun demikian terdapat dua persyaratan penting apabila pengelolaan kawasan konservasi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah dapat berjalan dengan baik, yakni sekaligus dengan memberikan Daerah kewenangan untuk mengelola pengusahaan hutan, serta melibatkan masyarakat lokal atau adat dan memposisikan mereka secara kemitraan.

Di sisi lain, pengembangan Peran Serta Masyarakat di dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi juga belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Dari berbagai peraturan yang ada -- yang mencantumkan peran serta -- tampak bahwa pemerintah belum memahami apa esensi dari peran serta masyarakat itu sendiri. Berbagai pasal tentang peran serta seringkali menyebutkan peran serta dalam bentuk yang tidak langsung seperti : maka rakyat diikutsertakan, atau konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggungjawab dan kewajiban pemerintah dan masyarakat, atau, pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan (Ps. 37 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1990).

Berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat peran serta masyarakat, kecuali UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa peran serta masyarakat itu tidak penting. masyarakat bahkan dilihat sebagai bagian yang tidak mengerti tentang pengelolaan sumber daya alam termasuk konservasi, sehingga disebutkan bahwa peran serta tersebut akan ditumbuhkan dan ditingkatkan

melalui pendidikan dan penyuluhan. Padahal, tidak ada yang dapat membantah bahwa justru masyarakat Adat Dayak, masyarakat Adat Haruku, dan berbagai masyarakat adat lainnya di berbagai wilayah di Indonesia dikenal secara turun-temurun memiliki konsepsi konservasi yang luar biasa, dan menerapkannya.

Diakomodirnya peran serta masyarakat adalah suatu keniscayaan. Dengan luasnya

sebaran kawasan konservasi, terbatasnya institusi pengelola dan sumber daya manusia, serta dana yang minim, adalah tidak mungkin pengelolaan kawasan konservasi tanpa peran serta masyarakat dapat berjalan dengan baik.

Upaya meletakkan pola hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam bentuk kemitraan akan menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat ataupun kawasan konservasi itu sendiri. Bagi masyarakat adat atau lokal, keterlibatan dalam pengelolaan kawasan konservasi bukan dilihat semata-mata sebagai sebuah tugas, akan tetapi didorong oleh motivasi dan rasa memiliki, dimana mereka merasa adalah bagian dari hutan atau kawasan konservasi itu sendiri. Beberapa faktor yang mendukung efektifnya pengelolaan kawasan konservasi dengan dilibatkannya masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah, 1) kedekatan masyarakat dengan kawasan konservasi, 2) adanya faktor kepentingan, baik secara historis, sosial-religi, ekologi maupun ekonomi, dan 3). komitmen dan kepedulian (seperti yang ditunjukkan oleh LSM maupun kelompok pecinta lingkungan hidup).

Salah satu contoh peran penting keterlibatan masyarakat adalah dalam kasus kebakaran hutan 1997-1998 yang terakhir, dimana posko-posko didirikan yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan masyarakat umum. Sebaliknya, sebagaimana yang dilaporkan di dalam buku “Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia, Dampak Faktor dan Evaluasi, menunjukkan betapa pemerintah ternyata memiliki keterbatasan dalam menanggulangi bencana skala besar. Hal ini dibuktikan dengan lumpuhnya mekanisme kerja yang mengatur hubungan antara instansi dalam usaha penanggulangan dan pemadaman di tingkat Pusat maupun Daerah.

III. EVALUASI ADANYA STATEMENT DAN KOMITMENT PEMERINTAH PENGELOLAAN LINGKUNGAN

3.1. Kebijakan Pemerintah Pengelolaan Lingkungan

Pemerintah telah menyusun visi pembangunan berkelanjutan berdasarkan penjabaran pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Terlestarikannya lingkungan hidup Indonesia sesuai fungsinya merupakan satu prasyarat dan sekaligus sebagian dari tujuan yang dicita-citakan seperti tertuang pada Pembukaan UUD 1945. Mengacu Pembukaan UUD 1945, Visi pembangunan KLH adalah pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan generasi mendatang. Oleh karena itu lingkungan hidup perlu dilestarikan. Sumber daya alam yang terbaruhi perlu dilestarikan daya pulihnya, sedangkan sumber daya alam tak terbaruhi perlu dimanfaatkan searif mungkin dengan memperhatikan kebutuhan generasi mendatang. Berbagai program strategis yang dikembangkan oleh KLH meliputi :

3.1. 1. Program Utama

· Penyelenggaraan Tata Praja Lingkungan, yang mencakup pengembangan kapasitas KLH untuk mendukung pengelolaan lingkungan hidup di daerah, penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam pembangunan berkelanjutan (bangun praja ), dan penghargaan kepada pemerintah daerah dalam keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup di daerahnya (Adipura)

· Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan (warga madani) dan kerja sama dengan badan legislatif daerah dalam pembangunan berkelanjutan

· Pengembangan system penataan yang terdiri dari pengembangan system penataan alternatif sumber pencemar institusi

· Pengembangan system penataan yang terdiri dari pengembangan system penataan alternative pencemar non-institusi

· Pelestarian lingkungan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional, regional dan global.

3.1.2. Program Pendukung

· Pengembangan kelembagaan dan koordinasi pembangunan berkelanjutan yang terdiri dari pengembangan kebijakan, pengembangan system penataan dan pemantauan kebijaksaaan.

· Pengembangan system informasi termasuk pemantauan kualitas lingkungan hidup, komunikasi dan system pelaporan dalam pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari komunikasi, system informasi dan pelaporan

Sejak awal, pemerintah melalui KLH memiliki komitmen yang kuat berupaya memperhatikan aspek lingkungan pada setiap sisi kegiatan pembangunan. Berbagai upaya selama ini dilakukan dan banyak hal telah dicapai antara lain, diletakannya kerangka landasan yang kuat berupa perundang-undangan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup, konservasi maupun tata ruang. Lembaga pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun daerah telah di bentuk kerangka koseptual serta kebijakan umum pengelolaan lingkungan hidup.

3.2. Kebijakan yang dijalankan oleh KLH dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia

Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia yang harus diperhatikan adalah hubungan kelembagaan pemerintah pusat dengan daerah dan karakteristik pengelolaan lingkungan hidup yang multideminsi dan lintas wilayah. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menetapkan urusan penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup akan sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten-kota. Oleh karena itu mekanisme hubungan kerja antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bersifat sinergi dalam mengoptimalkan kinerja program pengelolaan lingkungan hidup yang berasal dari pusat dan program yang berasal atau disusun sendiri oleh pemerintah daerah kabupaten/kota termasuk kegiatan yang berasal dari inisiatif local yang merupakan potensi kreatif dan inisiatif masyarakat setempat.

Dengan di mulainya desentralisasi di segala bidang termasuk pengelolaan lingkungan, maka kelembagaan di pusat pun perlu disesuaikan. Karena itu KLH selain bertanggung jawab mengkoordinasi juga menjalankan tugas-tugas pelaksanaan yang pada masa lalu dipegang oleh Bapedal. Disamping itu KLH juga bertanggung jawab membantu aspek teknis institusi pengelola lingkungan hidup di daerah antara lain Bapedalda Propinsi, Bapedalda Kabupaten, dan Bapedalda Kota.

Untuk mengantipasi berbagai implikasi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di daerah perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mempertegas kembali komitmen memberdayakan lembaga lingkungan di

kabupaten/kota

2. Implikasi dari penguatan kelembagaan lingkungan di kabupaten/kota

adalah penguatan lembaga di tingkat propinsi, regional dan pusat dengan

perubahan peran dan tanggung jawab sesuai kewenangan yang diatur

dalam PP Nomor 25 tahun 2000.

3. Meningkatkan kinerja kelembagaan dengan meningkatkan sumberdaya

manusia.

3.3. Pendanaan

Anggaran pembangunan pada dasarnya merupakan cerminan kebijakan pemerintah dan sasaran pembangunan berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan. Anggaranpembangunan juga dapat memberikan gambaran lembaga pemerintah yang mana bertanggung jawab melaksanakan tugas dan fungsi tertentu maupun menggambarkan amanat/kebijakan yang telah ditetapkan. Pendanaan pengelolaan lingkungan hidup berasal dari sumber domestik dan luar negeri, hanya disayangkan anggaran yang disediakan untuk sumber daya alam dan lingkungan hidup hanya satu persen dari seluruh belanja pembangunan. Rasanya tidak adil jika melihat penerimaan Negara bukan pajak yang berasal dari sumber daya alam menempati 77 % dan sementara pengeluaran pembangunan untuk suksektor sumber daya alam dan lingkungan hidup sangat kecil (0,69%) dari penerimaan yang berasal dari sumber daya alam (KLH, 2002).

Perlu kiranya menambah anggaran untuk pelaksanaan pelestarian lingkungan hidup sehingga proporsional anggaran untuk tiga pilar pembangunan berkelanjutan (social, ekonomi dan lingkungan). Anggaran sector lingkungan hidup perlu di upayakan mencapai 3 – 4 % dari total pembanguan.

3.4. Peraturan dan perundang-undangan

KLH terus mengembangkan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup meskipun tetap saja banyak kasus pelanggaran perundang-undangan tersebut. Misalnya kasus konservasi kawasan lindung yang menjadi kawasan perumahan, kasus reklamasi pantai yang jelas-jelas akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan, ahli fungsi kawasan penyangga di Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) menjadi kawasan hunian dan adanya perbedaan pendapat tentang tidak dibolehkannya pertambangan terbuka di hutan lindung sesuai UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, merupakan beberapa contoh yang mengindikasikan adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan. Dari kenyataan itu jelaslah, ada sesuatu kecendrungan kuat aspek lingkungan belum diprioritaskan dalam pembangunan.

3.5 Partisipasi Masyarakat

Permasalahan lingkungan hidup merupakan masalah yang kompleks sehingga tidak dapat ditangani oleh pemerintah saja. Kompleksnya permasalahan menurut pemecahan yang multidimensi dan komprehensif, salah satunya adalah peran serta seluruh masyarakat. Namun dalam kenyataannya peran serta masyarakat masih menghadapi persoalan yang cukup rumit dan sensitive, sehingga keterlibatannya dalam lingkungan hidup mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tahap pemantauan masih relatif rendah. Oleh karena itu meningkatkan berbagai kegiatan seperti :

· Pemberian Penghargaan Kalpataru merupakan penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah melalui KLH sejak tahun 1980 hingga sekarang kepada masyarakat baik kelompok maupun perorangan atas dedikasinya dalam kegiatan kepeloporan atau sumbagsihnya bagi upaya-upaya pelsetarian fungsi lingkungan.

· Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan melalui program warga madani yang bertujuan agar masyarakat secara aktif menyuarakan hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat serta mampu berkehendak untuk menjalankan inisiatif local dalam menghadapi masalah lingkungan sekitarnya.

· Peningkatan Peran aktif masyarakat dalam pelaksanaan Amdal sesuai dengan pasal 33-35, PP Nomor 27 Tahun 1999 yang kemudian dijabarkan melalui keputusan Kepala Bapedal Nomor 8 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan keterbukaan Informasi dalam proses Amdal.

· Pengembangan system informasi dalam bentuk memaksimalkan situs KLH dan pembuatan situs untuk anak-anak Acil ( Aku Cinta Lingkungan).

· Pembukaan Kotak Pengaduan Masyarakat yang merupakan sarana bagi masyarakat untuk berpartipasi dalam pengeloaan lingkungan hidup.

IV. PENUTUP

1. Tercapainya Statement dan Komitment politik dari pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup akan sangat tergantung kepada berbagai pihak baik termasuk masyarakat dan apatur di tingkat pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota untuk bersama-sama memahami otonomi daerah yang sebenarnya di bidang lingkungan hidup dalam hal konservasi alam, serta dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang terkait kepentingan pengelolaan kawasan konservasi hendaknya dilakukan berdasarkan kesepakatan semua pihak. Untuk itu penyelenggaran kawasan konservasi harus dilakukan secara transparan, serta berkonsekuensi tidak hanya kepada pengaturan kewenangan (authority) namun mencakup pula pengaturan tanggung jawab (responsibility), Tanggung-gugat (accountability) dan resiko (risks) serta merupakan kepentingan bersama pemerintah pusat dan daerah (propinsi dan kabupaten/kota).

2. Melihat luasnya wilayah sebaran kawasan konservasi, terbatasnya sumber daya (manusia, dana dan fasilitas) serta beragamnya ancaman terhadap kawasan konservasi maka pemerintah memerlukan mitra untuk melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi. Dalam hal ini peran serta masyarakat adalah salah satu instrument penting yang harus disertakan. Peran serta masyarakat dapat melibatkan masyarakat adat, masyarakat local maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena mereka, pada dasarnya memiliki kepedulian (concern) yang tinggi untuk generasi masa yang akan datang. Disamping, masyarakat adat juga memilki ikatan dan kepentingan sosial, ekonomi, budaya dan bahkan religi (magis), terhadap sumber-sumber daya alam seperti hutan.

3. Melakukan upaya-upaya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang secara sengaja merusak kawasan konservasi, melalui praktek-praktek kolusi, korupsi dengan cara membuat kebijakan yang bertentangan dengan tujuan pengelolaan konservasi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

CGI dan Desantralisasi kehutanan, INFID International NGO Forum on Indonesian Development, File:///D:/tugas % 20supli%202.htm

Kebijakan Dalam dan Luar Negeri di Bidang Lingkungan Hidup, laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002

TB. Unu Nitibaskara, Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi, Prosiding, Seminar Nasional. Lingkungan Hidup Perkuat Komitmen

http://m3sultra.wordpress.com/2009/09/09/uu-lingkungan-hidup-perkuat-komitmen/

Sulaiman N Sembiring, Kajian Hukum & Kebijakan Pengolaaan Kawasan Konservasi di Indonesia, ICEL http// orientasi lingkungan multiply.com pround /item/31